Daftar Blog Saya

Sabtu, 04 September 2010

Mengenal Seluk Beluk BID’AH (4): Dampak Buruk BID’AH

Mengenal Seluk Beluk BID’AH (4): Dampak Buruk BID’AH


[Bagian Keempat dari 4 Tulisan]

Sudah sepatutnya kita menjauhi berbagai macam bid’ah mengingat dampak buruk yang ditimbulkan. Berikut beberapa dampak buruk dari bid’ah.
[Pertama, amalan bid'ah tertolak]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Orang yang berbuat bid’ah inilah yang amalannya merugi. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi [18] : 103-104)

[Kedua, pelaku bid'ah terhalangi untuk bertaubat selama dia terus menerus dalam bid'ahnya. Oleh karena itu, ditakutkan dia akan mengalami su'ul khotimah]

Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ

“Allah betul-betul akan menghalangi setiap pelaku bid’ah untuk bertaubat sampai dia meninggalkan bid’ahnya.” (HR. Thabrani. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 54)

[Ketiga, pelaku bid'ah tidak akan minum dari telaga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak akan mendapatkan syafa'at beliau shallallahu 'alaihi wa sallam]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ “ (HR. Bukhari no. 7049)

Dalam riwayat lain dikatakan,

إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى

“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)

Inilah do’a laknat untuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbuat bid’ah.

Ibnu Baththol mengatakan, “Demikianlah, seluruh perkara bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama tidak diridhoi oleh Allah karena hal ini telah menyelisihi jalan kaum muslimin yang berada di atas kebenaran (al haq). Seluruh pelaku bid’ah termasuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang membuat-buat perkara baru dalam agama. Begitu pula orang yang berbuat zholim dan yang menyelisihi kebenaran, mereka semua telah membuat sesuatu yang baru dan telah mengganti dengan ajaran selain Islam. Oleh karena itu, mereka juga termasuk dalam hadits ini.” (Lihat Syarh Ibnu Baththol, 19/2, Asy Syamilah) -Semoga Allah menjauhkan kita dari berbagai perkara bid’ah dan menjadikan kita sebagai umatnya yang akan menikmati al haudh sehingga kita tidak akan merasakan dahaga yang menyengsarakan di hari kiamat, Amin Ya Mujibad Du’a-

[Keempat, pelaku bid'ah akan mendapatkan dosa jika amalan bid'ahnya diikuti orang lain]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1017)

Wahai saudaraku, perhatikanlah hadits ini. Sungguh sangat merugi sekali orang yang melestarikan bid’ah dan tradisi-tradisi yang menyelisihi syari’at. Bukan hanya dosa dirinya yang akan dia tanggung, tetapi juga dosa orang yang mengikutinya. Padahal bid’ah itu paling mudah menyebar. Lalu bagaimana yang mengikutinya sampai ratusan bahkan ribuan orang? Berapa banyak dosa yang akan dia tanggung? Seharusnya kita melestarikan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kenapa harus melestarikan tradisi dan budaya yang menyelisihi syari’at? Jika melestarikan ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam -seperti mentalqinkan mayit menjelang kematiannya bukan dengan talqin setelah dimakamkan- kita akan mendapatkan ganjaran untuk diri kita dan juga dari orang lain yang mengikuti kita. Sedangkan jika kita menyebarkan dan melestarikan tradisi tahlilan, yasinan, maulidan, lalu diikuti oleh generasi setelah kita, apa yang akan kita dapat? Malah hanya dosa dari yang mengikuti kita yang kita peroleh.

Marilah Bersatu di Atas Kebenaran

Saudaraku, kami menyinggung masalah bid’ah ini bukanlah maksud kami untuk memecah belah kaum muslimin sebagaimana disangka oleh sebagian orang jika kami menyinggung masalah ini. Yang hanya kami inginkan adalah bagaimana umat ini bisa bersatu di atas kebenaran dan di atas ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar. Yang kami inginkan adalah agar saudara kami mengetahui kebenaran dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kami ketahui. Kami tidak ingin saudara kami terjerumus dalam kesalahan sebagaimana tidak kami inginkan pada diri kami. Semoga maksud kami ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,

إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11] : 88)

Inilah sedikit pembahasan mengenai bid’ah, kerancuan-kerancuan di dalamnya dan dampak buruk yang ditimbulkan. Semoga dengan tulisan yang singkat ini kita dapat semakin mengenalinya dengan baik. Hal ini bukan berarti dengan mengetahuinya kita harus melakukan bid’ah tersebut. Karena sebagaimana perkataan seorang penyair,

عَرَّفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ …
وَمَنْ لاَ يَعْرِفُ الشَّرَّ مِنَ النَّاسِ يَقَعُ فِيْهِ

Aku mengenal kejelekan, bukan berarti ingin melakukannya, tetapi ingin menjauhinya
Karena barangsiapa tidak mengenal kejelekan, mungkin dia bisa terjatuh di dalamnya

Ya Hayyu, Ya Qoyyum. Wahai Zat yang Maha Hidup lagi Maha Kekal. Dengan rahmat-Mu, kami memohon kepada-Mu. Perbaikilah segala urusan kami dan janganlah Engkau sandarkan urusan tersebut pada diri kami, walaupun hanya sekejap mata. Amin Yaa Mujibbas Sa’ilin.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Selesai disusun di rumah tercinta, Desa Pangukan, Sleman
Saat Allah memberi nikmat hujan di siang hari, Kamis, 9 Syawal 1429 (bertepatan dengan 9 Oktober 2008)

***

Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

MMengenal Seluk Beluk BID’AH (3): Berbagai Alasan Dalam Membela Bid’ah

Mengenal Seluk Beluk BID’AH (3): Berbagai Alasan Dalam Membela Bid’ah


[Bagian Ketiga dari 4 Tulisan]

Sebelumnya kami telah menyampaikan sanggahan mengenai bid’ah hasanah yang dasarnya adalah dari perkataan Umar bahwa sebaik-baik bid’ah yaitu shalat tarawih ini. Berikut kami sajikan beberapa alasan lain dalam membela bid’ah dan jawabannya.

[1] Mobil, HP dan Komputer termasuk Bid’ah

Setelah kita mengetahui definisi bid’ah dan mengetahui bahwa setiap bid’ah adalah tercela dan amalannya tertolak, masih ada suatu kerancuan di tengah-tengah masyarakat bahwa berbagai kemajuan teknologi saat ini seperti mobil, komputer, HP dan pesawat dianggap sebagai bid’ah yang tercela. Di antara mereka mengatakan, “Kalau memang bid’ah itu terlarang, kita seharusnya memakai unta saja sebagaimana di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Menurut kami, perkataan ini muncul karena tidak memahami bid’ah dengan benar.
Perlu sekali ditegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah yang tercela sehingga membuat amalannya tertolak adalah bid’ah dalam agama dan bukanlah perkara baru dalam urusan dunia yang tidak ada contoh sebelumnya seperti komputer dan pesawat.

Suatu kaedah yang perlu diketahui bahwa untuk perkara non ibadah (‘adat), hukum asalnya adalah tidak terlarang (mubah) sampai terdapat larangan. Hal inilah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (sebagaimana dalam Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/86) dan ulama lainnya.

Asy Syatibi juga mengatakan, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)

Para pembaca dapat memperhatikan bahwa tatkala para sahabat ingin melakukan penyerbukan silang pada kurma –yang merupakan perkara duniawi-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا كَانَ شَىْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْر دِينِكُمْ فَإِلَىَّ

“Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengomentari bahwa sanad hadits ini hasan)

Kesimpulannya: Komputer, HP, pesawat, pabrik-pabrik kimia, berbagai macam kendaraan, dan teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini, itu semua adalah perkara yang dibolehkan dan tidak termasuk dalam bid’ah yang tercela. Kalau mau kita katakan bid’ah, itu hanyalah bid’ah secara bahasa yaitu perkara baru yang belum ada contoh sebelumnya.

[2] Para Sahabat Pernah Melakukan Bid’ah dengan Mengumpulkan Al Qur’an

Ada sebagian kelompok dalam membela acara-acara bid’ahnya berdalil bahwa dulu para sahabat -Abu Bakar, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit- saja melakukan bid’ah. Mereka mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya. Jika kita mengatakan bid’ah itu sesat, berarti para sahabatlah yang akan pertama kali masuk neraka. Inilah sedikit kerancuan yang sengaja kami temukan di sebuah blog di internet.

Ingatlah bahwa bid’ah bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan baru dilakukan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah. Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya berikut.

“Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperintahkan dengan perintah wajib ataupun mustahab (dianjurkan).
Adapun jika sesuatu tersebut diperintahkan dengan perintah wajib atau mustahab (dianjurkan) dan diketahui dengan dalil syar’i maka hal tersebut merupakan perkara agama yang telah Allah syari’atkan, … baik itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak. Segala sesuatu yang terjadi setelah masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun berdasarkan perintah dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti membunuh orang yang murtad, membunuh orang Khowarij, Persia, Turki dan Romawi, mengeluarkan Yahudi dan Nashrani dari Jazirah Arab, dan semacamnya, itu termasuk sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fatawa, 4/107-108, Mawqi’ Al Islam-Asy Syamilah)

Pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf ada dalilnya dalam syari’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis Al Qur’an, namun penulisannya masih terpisah-pisah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/97) mengatakan, “Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an adalah karena pada saat itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu Al Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karena adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah paten setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam; begitu pula Al Qur’an tidak terdapat lagi penambahan atau pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin melaksanakan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya. Oleh karena itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin disebut bid’ah, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu tidak ada contoh sebelumnya, pen).”

Perlu diketahui pula bahwa mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan bagian dari maslahal mursalah. Apa itu maslahal mursalah?

Maslahal mursalah adalah sesuatu yang didiamkan oleh syari’at, tidak ditentang dan tidak pula dinihilkan, tidak pula memiliki nash (dalil tegas) yang semisal sehingga bisa diqiyaskan. (Taysir Ilmu Ushul Fiqh, hal. 184, 186, Abdullah bin Yusuf Al Judai’, Mu’assasah Ar Royyan). Contohnya adalah maslahat ketika mengumpulkan Al Qur’an dalam rangka menjaga agama. Contoh lainnya adalah penulisan dan pembukuan hadits. Semua ini tidak ada dalil dalil khusus dari Nabi, namun hal ini terdapat suatu maslahat yang sangat besar untuk menjaga agama.

Ada suatu catatan penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan maslahah mursalah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.”

Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya: Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya adalah sunnah.
Begitu pula hal ini kita terapkan pada kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakah faktor penghalang tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu masih terus turun dan masih terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al Qur’an dikumpulkan ketika itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun, faktor penghalang ini hilang setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena wahyu dan hukum sudah sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkan Al Qur’an pada saat itu adalah suatu maslahat.

Kaedah beliau ini dapat pula diterapkan untuk kasus-kasus lainnya semacam perayaan Maulid Nabi, yasinan, dan ritual lain yang telah membudaya di tengah umat Islam. –Semoga Allah memberikan kita taufik agar memahami bid’ah dengan benar-

[3] Yang Penting Kan Niatnya!

Ada pula sebagian orang yang beralasan ketika diberikan sanggahan terhadap bid’ah yang dia lakukan, “Menurut saya, segala sesuatu itu kembali pada niatnya masing-masing.”

Kami katakan bahwa amalan itu bisa diterima tidak hanya dengan niat yang ikhlas, namun juga harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini telah kami jelaskan pada pembahasan awal di atas. Jadi, syarat diterimanya amal itu ada dua yaitu [1] niatnya harus ikhlas dan [2] harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, amal seseorang tidak akan diterima tatkala dia melaksanakan shalat shubuh empat raka’at walaupun niatnya betul-betul ikhlas dan ingin mengharapkan ganjaran melimpah dari Allah dengan banyaknya rukuk dan sujud. Di samping ikhlas, dia harus melakukan shalat sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk [67] : 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”

Lalu Al Fudhail berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak sesuai ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 19)

Sekelompok orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka beralasan di hadapan Ibnu Mas’ud,

وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.

“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”

Lihatlah orang-orang ini berniat baik, namun cara mereka beribadah tidak sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu Mas’ud menyanggah perkataan mereka sembari berkata,

وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)

Kesimpulan: Tidak cukup seseorang melakukan ibadah dengan dasar karena niat baik, tetapi dia juga harus melakukan ibadah dengan mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kaedah yang benar “Niat baik semata belum cukup.”

[4] Ini Kan Sudah Jadi Tradisi di Tempat Kami…

Ini juga perkataan yang muncul ketika seseorang disanggah mengenai bid’ah yang dia lakukan. Ketika ditanya, “Kenapa kamu masih merayakan 3 hari atau 40 hari setelah kematian?” Dia menjawab, “Ini kan sudah jadi tradisi kami…”

Jawaban seperti ini sama halnya jawaban orang musyrik terdahulu ketika membela kesyirikan yang mereka lakukan. Mereka tidak memiliki argumen yang kuat berdasarkan dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka hanya bisa beralasan,

إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ

“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. Az Zukhruf [43] : 22)

Saudaraku yang semoga selalu dirahmati Allah, setiap tradisi itu hukum asalnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan hukum syari’at dan selama tidak ada unsur ibadah di dalamnya. Misalnya, santun ketika berbincang-bincang dengan yang lebih tua, ini adalah tradisi yang bagus dan tidak bertentangan dengan syari’at. Namun, jika ada tradisi dzikir atau do’a tertentu pada hari ketiga, ketujuh, atau keempat puluh setelah kematian, maka ini adalah bid’ah karena telah mencampurkan ibadah dalam tradisi dan mengkhususkannya pada waktu tertentu tanpa dalil.

Jadi, bid’ah juga bisa terdapat dalam tradisi (adat) sebagaimana perkataan Asy Syatibi, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)

Dan sedikit tambahan bahwa tradisi yang diposisikan sebagai ibadah sebenarnya malah akan menyusahkan umat Islam. Misalnya saja tradisi selamatan kematian pada hari ke-7, 40, 100, atau 1000 hari. Syari’at sebenarnya ingin meringankan beban pada hambanya. Namun, karena melakukan bid’ah semacam ini, beban hamba tersebut bertambah. Sebenarnya melakukan semacam ini tidak ada tuntunannya, malah dijadikan sebagai sesuatu yang wajib sehingga membebani hamba. Bahkan kadang kami menyaksikan sendiri di sebuah desa yang masih laris di sana tradisi selamatan kematian. Padahal kehidupan kebanyakan warga di desa tersebut adalah ekonomi menengah ke bawah. Lihatlah bukannya dengan meninggalnya keluarga, dia diringankan bebannya oleh tetangga sekitar. Malah tatkala kerabatnya meninggal, dia harus mencari utang di sana-sini agar bisa melaksanakan selamatan kematian yang sebenarnya tidak ada tuntunannya. Akhirnya karena kematian kerabat bertambahlah kesedihan dan beban kehidupan. Kami memohon kepada Allah, semoga Allah memperbaiki kondisi bangsa ini dengan menjauhkan kita dari berbagai amalan yang tidak ada tuntunannya.

[5] Semua Umat Islam Indonesia bahkan para Kyai dan Ustadz Melakukan Hal Ini

Ada juga yang berargumen ketika ritual bid’ah –seperti Maulid Nabi- yang ia lakukan dibantah sembari mengatakan, “Perayaan (atau ritual) ini kan juga dilakukan oleh seluruh umat Islam Indonesia bahkan oleh para Kyai dan Ustadz. Kok hal ini dilarang?!”

Alasan ini justru adalah alasan orang yang tidak pandai berdalil. Suatu hukum dalam agama ini seharusnya dibangun berdasarkan Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan kaum muslimin). Adapun adat (tradisi) di sebagian negeri, perkataan sebagian Kyai/Ustadz atau ahlu ibadah, maka ini tidak bisa menjadi dalil untuk menyanggah perkataan Allah dan Rasul-Nya.

Barangsiapa meyakini bahwa adat (tradisi) yang menyelisihi sunnah ini telah disepakati karena umat telah menyetujuinya dan tidak mengingkarinya, maka keyakinan semacam ini jelas salah dan keliru. Ingatlah, akan selalu ada dalam umat ini di setiap waktu yang melarang berbagai bentuk perkara bid’ah yang menyelisihi sunnah seperti perayaan maulid ataupun tahlilan. Lalu bagaimana mungkin kesepakatan sebagian negeri muslim dikatakan sebagai ijma’ (kesepakatan umat Islam), apalagi dengan amalan sebagian kelompok?

Ketahuilah saudaraku semoga Allah selalu memberi taufik padamu, mayoritas ulama tidak mau menggunakan amalan penduduk Madinah (di masa Imam Malik) –tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah- sebagai dalil dalam beragama. Mereka menganggap bahwa amalan penduduk Madinah bukanlah sandaran hukum dalam beragama tetapi yang menjadi sandaran hukum adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu bagaimana mungkin kita berdalil dengan kebiasaan sebagian negeri muslim yang tidak memiliki keutamaan sama sekali dibanding dengan kota Nabawi Madinah?! (Disarikan dari Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 2/89 dan Al Bid’ah wa Atsaruha Asy Syai’ fil Ummah, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali, 49-50, Darul Hijroh)

Perlu diperhatikan pula, tersebarnya suatu perkara atau banyaknya pengikut bukan dasar bahwa perkara yang dilakukan adalah benar. Bahkan apabila kita mengikuti kebanyakan manusia maka mereka akan menyesatkan kita dari jalan Allah dan ini berarti kebenaran itu bukanlah diukur dari banyaknya orang yang melakukannya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al An’am [6] : 116)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi kita taufik untuk mengikuti kebenaran bukan mengikuti kebanyakan orang.

[6] Baca Al Qur’an kok dilarang?!

Ini juga di antara argumen dari pelaku bid’ah ketika diberitahu mengenai bid’ah yang dilakukan, “Saudaraku, perbuatan seperti ini kan bid’ah.” Lalu dia bergumam, “Masa baca Al Qur’an saja dilarang?!” Atau ada pula yang berkata, “Masa baca dzikir saja dilarang?!”

Untuk menyanggah perkataan di atas, perlu sekali kita ketahui mengenai dua macam bid’ah yaitu bid’ah hakikiyah dan idhofiyah.

Bid’ah hakikiyah adalah setiap bid’ah yang tidak ada dasarnya sama sekali baik dari Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ kaum muslimin, dan bukan pula dari penggalian hukum yang benar menurut para ulama baik secara global maupun terperinci. (Al I’tishom, 1/219)

Di antara contoh bid’ah hakikiyah adalah puasa mutih (dilakukan untuk mencari ilmu sakti), mendekatkan diri pada Allah dengan kerahiban (hidup membujang seperti para biarawati), dan mengharamkan yang Allah halalkan dalam rangka beribadah kepada Allah. Ini semua tidak ada contohnya dalam syari’at.

Bid’ah idhofiyah adalah setiap bid’ah yang memiliki 2 sisi yaitu [1] dari satu sisi memiliki dalil, maka dari sisi ini bukanlah bid’ah dan [2] di sisi lain tidak memiliki dalil maka ini sama dengan bid’ah hakikiyah. (Al I’tishom, 1/219)

Jadi bid’ah idhofiyah dilihat dari satu sisi adalah perkara yang disyari’atkan. Namun ditinjau dari sisi lain yaitu dilihat dari enam aspek adalah bid’ah. Enam aspek tersebut adalah waktu, tempat, tatacara (kaifiyah), sebab, jumlah, dan jenis.

Contohnya bid’ah idhofiyah adalah dzikir setelah shalat atau di berbagai waktu secara berjama’ah dengan satu suara. Dzikir adalah suatu yang masyru’ (disyari’atkan), namun pelaksanaannya dengan tatacara semacam ini tidak disyari’atkan dan termasuk bid’ah yang menyelisihi sunnah.

Contoh lainnya adalah puasa atau shalat malam hari nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban). Begitu pula shalat rogho’ib pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab. Kedua contoh ini termasuk bid’ah idhofiyah. Shalat dan puasa adalah ibadah yang disyari’atkan, namun terdapat bid’ah dari sisi pengkhususan zaman, tempat dan tatacara. Tidak ada dalil dari Al Kitab dan As Sunnah yang mengkhususkan ketiga hal tadi.
Begitu juga hal ini dalam acara yasinan dan tahlilan. Bacaan tahlil adalah bacaan yang disyari’atkan. Bahkan barangsiapa mengucapkan bacaan tahlil dengan memenuhi konsekuensinya maka dia akan masuk surga. Namun, yang dipermasalahkan adalah pengkhususan waktu, tatacara dan jenisnya. Perlu kita tanyakan manakah dalil yang mengkhususkan pembacaan tahlil pada hari ke-3, 7, dan 40 setelah kematian. Juga manakah dalil yang menunjukkan harus dibaca secara berjama’ah dengan satu suara. Mana pula dalil yang menunjukkan bahwa yang harus dibaca adalah bacaan laa ilaha illallah, bukan bacaan tasbih, tahmid atau takbir. Dalam acara yasinan juga demikian. Kenapa yang dikhususkan hanya surat Yasin, bukan surat Al Kahfi, As Sajdah atau yang lainnya? Apa memang yang teristimewa dalam Al Qur’an hanyalah surat Yasin bukan surat lainnya? Lalu apa dalil yang mengharuskan baca surat Yasin setelah kematian? Perlu diketahui bahwa kebanyakan dalil yang menyebutkan keutamaan (fadhilah) surat Yasin adalah dalil-dalil yang lemah bahkan sebagian palsu.

Jadi, yang kami permasalahkan adalah bukan puasa, shalat, bacaan Al Qur’an maupun bacaan dzikir yang ada. Akan tetapi, yang kami permasalahkan adalah pengkhususan waktu, tempat, tatacara, dan lain sebagainya. Manakah dalil yang menunjukkan hal ini?

Semoga sanggahan-sanggahan di atas dapat memuaskan pembaca sekalian. Kami hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama kami masih berkesanggupan. Tidak ada yang dapat memberi taufik kepada kita sekalian kecuali Allah. Semoga kita selalu mendapatkan rahmat dan taufik-Nya ke jalan yang lurus.

***

Disusun oleh : Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh : Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Mengenal Seluk Beluk BID’AH (2): Adakah BID’AH HASANAH?

Mengenal Seluk Beluk BID’AH (2): Adakah BID’AH HASANAH?


[Bagian Kedua dari 4 Tulisan]

Setiap bid’ah adalah tercela. Inilah yang masih diragukan oleh sebagian orang. Ada yang mengatakan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, ada pula bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Untuk menjawab sedikit kerancuan ini, marilah kita menyimak berbagai dalil yang menjelaskan hal ini.

[Dalil dari As Sunnah]

Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki pasukan ‘Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu sore’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)

Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,

وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ

“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)

Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan,

يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا

“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)

[Dalil dari Perkataan Sahabat]

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ

“Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)

Itulah berbagai dalil yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat.

KERANCUAN: BID’AH ADA YANG TERPUJI ?

Inilah kerancuan yang sering didengung-dengungkan oleh sebagian orang bahwa tidak semua bid’ah itu sesat namun ada sebagian yang terpuji yaitu bid’ah hasanah.

Memang kami akui bahwa sebagian ulama ada yang mendefinisikan bid’ah (secara istilah) dengan mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang tercela dan ada yang terpuji karena bid’ah menurut beliau-beliau adalah segala sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i dari Harmalah bin Yahya. Beliau rahimahullah berkata,

الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة

“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.” (Lihat Hilyatul Awliya’, 9/113, Darul Kitab Al ‘Arobiy Beirut-Asy Syamilah dan lihat Fathul Bari, 20/330, Asy Syamilah)

Beliau rahimahullah berdalil dengan perkataan Umar bin Al Khothob tatkala mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata,

نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010)

Pembagian bid’ah semacam ini membuat sebagian orang rancu dan salah paham. Akhirnya sebagian orang mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada yang tercela (bid’ah sayyi’ah). Sehingga untuk sebagian perkara bid’ah seperti merayakan maulid Nabi atau shalat nisfu Sya’ban yang tidak ada dalilnya atau pendalilannya kurang tepat, mereka membela bid’ah mereka ini dengan mengatakan ‘Ini kan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah)’. Padahal kalau kita melihat kembali dalil-dalil yang telah disebutkan di atas baik dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun perkataan sahabat, semua riwayat yang ada menunjukkan bahwa bid’ah itu tercela dan sesat. Oleh karena itu, perlu sekali pembaca sekalian mengetahui sedikit kerancuan ini dan jawabannya agar dapat mengetahui hakikat bid’ah yang sebenarnya.

SANGGAHAN TERHADAP KERANCUAN:

KETAHUILAH SEMUA BID’AH ITU SESAT

Perlu diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ’sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama, pen)’, ’setiap bid’ah adalah sesat’, dan ’setiap kesesatan adalah di neraka’ serta peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidak boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap bid’ah. Barangsiapa menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah orang yang hina. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/88, Ta’liq Dr. Nashir Abdul Karim Al ‘Aql)

Tidak boleh bagi seorang pun menolak sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu mengatakan ‘tidak semua bid’ah itu sesat’. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93)

Perlu pembaca sekalian pahami bahwa lafazh ‘kullu’ (artinya: semua) pada hadits,

وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Setiap bid’ah adalah sesat”, dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal dengan lafazh umum.
Asy Syatibhi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.” (Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)

Inilah pula yang dipahami oleh para sahabat generasi terbaik umat ini. Mereka menganggap bahwa setiap bid’ah itu sesat walaupun sebagian orang menganggapnya baik. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)

Juga terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,

فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.

“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?”

قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”

Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)

Lihatlah kedua sahabat ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud- memaknai bid’ah dengan keumumannya tanpa membedakan adanya bid’ah yang baik (hasanah) dan bid’ah yang jelek (sayyi’ah).

BERALASAN DENGAN SHALAT TARAWIH YANG DILAKUKAN OLEH UMAR

[Sanggahan pertama]

Adapun shalat tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’i. Bahkan shalat tarawih adalah sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ’sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa itu lebih umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya.

Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bid’ah secara bahasa. Begitu pula agama Islam ini disebut dengan muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) –sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama baru. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93-96)

[Sanggahan Kedua]

Baiklah kalau kita mau menerima perkataan Umar bahwa ada bid’ah yang baik. Maka kami sanggah bahwa perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)

[Sanggahan Ketiga]

Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali pada dalil yang bersifat umum.

Misalnya mengenai acara selamatan kematian. Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah) adalah sesat dan tertolak.

Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ’setiap bid’ah adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.

Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat Umar?
Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.

Misalnya HP ini termasuk bid’ah secara bahasa. Tidaklah boleh kita hanya menyebut bahwa HP ini termasuk bid’ah karena hal ini bisa menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.

Kesimpulan: Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun perkataan sahabat, setiap bid’ah itu sesat. Tidak ada bid’ah yang baik (hasanah). Tidak tepat pula membagi bid’ah menjadi lima: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram karena pembagian semacam ini dapat menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.

HUKUM BID’AH DALAM ISLAM

Hukum semua bid’ah adalah terlarang. Namun, hukum tersebut bertingkat-tingkat.

Tingkatan Pertama: Bid’ah yang menyebabkan kekafiran sebagaimana bid’ah orang-orang Jahiliyah yang telah diperingatkan oleh Al Qur’an. Contohnya adalah pada ayat,

وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا

“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”.” (QS. Al An’am [6]: 36)

Tingkatan Kedua : Bid’ah yang termasuk maksiat yang tidak menyebabkan kafir atau dipersilisihkan kekafirannya. Seperti bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang Khowarij, Qodariyah (penolak takdir) dan Murji’ah (yang tidak memasukkan amal dalam definisi iman secara istilah).

Tingkatan Ketiga: Bid’ah yang termasuk maksiat seperti bid’ah hidup membujang (kerahiban) dan berpuasa diterik matahari.

Tingkatan Keempat: Bid’ah yang makruh seperti berkumpulnya manusia di masjid-masjid untuk berdo’a pada sore hari saat hari Arofah.

Jadi setiap bid’ah tidak berada dalam satu tingkatan. Ada bid’ah yang besar dan ada bid’ah yang kecil (ringan).

Namun bid’ah itu dikatakan bid’ah yang ringan jika memenuhi beberapa syarat sebagaimana disebutkan oleh Asy Syatibi, yaitu:

1. Tidak dilakukan terus menerus.
2. Orang yang berbuat bid’ah (mubtadi’) tidak mengajak pada bid’ahnya.
3. Tidak dilakukan di tempat yang dilihat oleh orang banyak sehingga orang awam mengikutinya.
4. Tidak menganggap remeh bid’ah yang dilakukan.

Apabila syarat di atas terpenuhi, maka bid’ah yang semula disangka ringan lama kelamaan akan menumpuk sedikit demi sedikit sehingga jadilah bid’ah yang besar. Sebagaimana maksiat juga demikian. (Pembahasan pada point ini disarikan dari Al Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, www.islamspirit.com)
Pembahasan berikut adalah jawaban dari beberapa alasan dalam membela bid’ah. Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk Allah.

***

Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Mengenal Seluk Beluk BID’AH (1): Pengertian Bid’ah

Mengenal Seluk Beluk BID’AH (1): Pengertian Bid’ah


[Bagian Pertama dari 4 Tulisan]

Saudaraku yang semoga kita selalu mendapatkan taufik Allah, seringkali kita mendengar kata bid’ah, baik dalam ceramah maupun dalam untaian hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, tidak sedikit di antara kita belum memahami dengan jelas apa yang dimaksud dengan bid’ah sehingga seringkali salah memahami hal ini. Bahkan perkara yang sebenarnya bukan bid’ah kadang dinyatakan bid’ah atau sebaliknya. Tulisan ini -insya Allah- akan sedikit membahas permasalahan bid’ah dengan tujuan agar kaum muslimin bisa lebih mengenalnya sehingga dapat mengetahui hakikat sebenarnya. Sekaligus pula tulisan ini akan sedikit menjawab berbagai kerancuan tentang bid’ah yang timbul beberapa saat yang lalu di website kita tercinta ini. Sengaja kami membagi tulisan ini menjadi empat bagian. Kami harapkan pembaca dapat membaca tulisan ini secara sempurna agar tidak muncul keraguan dan salah paham. Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

AGAMA ISLAM TELAH SEMPURNA

Saudaraku, perlu kita ketahui bersama bahwa berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, agama Islam ini telah sempurna sehingga tidak perlu adanya penambahan atau pengurangan dari ajaran Islam yang telah ada.

Marilah kita renungkan hal ini pada firman Allah Ta’ala,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Ma’idah [5] : 3)

Seorang ahli tafsir terkemuka –Ibnu Katsir rahimahullah- berkata tentang ayat ini, “Inilah nikmat Allah ‘azza wa jalla yang tebesar bagi umat ini di mana Allah telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka pun tidak lagi membutuhkan agama lain selain agama ini, juga tidak membutuhkan nabi lain selain nabi mereka Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah menjadikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya kepada kalangan jin dan manusia. Maka perkara yang halal adalah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan dan perkara yang haram adalah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam haramkan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ma’idah ayat 3)

SYARAT DITERIMANYA AMAL

Saudaraku –yang semoga dirahmati Allah-, seseorang yang hendak beramal hendaklah mengetahui bahwa amalannya bisa diterima oleh Allah jika memenuhi dua syarat diterimanya amal. Kedua syarat ini telah disebutkan sekaligus dalam sebuah ayat,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan Rabbnya dengan sesuatu pun.” (QS. Al Kahfi [18] : 110)

Ibnu Katsir mengatakan mengenai ayat ini, “Inilah dua rukun diterimanya amal yaitu [1] ikhlas kepada Allah dan [2] mencocoki ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits innamal a’malu bin niyat [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77, Darul Hadits Al Qohiroh)

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Secara tekstual (mantuq), hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang tidak ada tuntunan dari syari’at maka amalan tersebut tertolak. Secara inplisit (mafhum), hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang ada tuntunan dari syari’at maka amalan tersebut tidak tertolak. …Jika suatu amalan keluar dari koriodor syari’at, maka amalan tersebut tertolak.

Dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘yang bukan ajaran kami’ mengisyaratkan bahwa setiap amal yang dilakukan hendaknya berada dalam koridor syari’at. Oleh karena itu, syari’atlah yang nantinya menjadi hakim bagi setiap amalan apakah amalan tersebut diperintahkan atau dilarang. Jadi, apabila seseorang melakukan suatu amalan yang masih berada dalam koridor syari’at dan mencocokinya, amalan tersebutlah yang diterima. Sebaliknya, apabila seseorang melakukan suatu amalan keluar dari ketentuan syari’at, maka amalan tersebut tertolak. (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77-78)

Jadi, ingatlah wahai saudaraku. Sebuah amalan dapat diterima jika memenuhi dua syarat ini yaitu harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika salah satu dari dua syarat ini tidak ada, maka amalan tersebut tertolak.

PENGERTIAN BID’AH

[Definisi Secara Bahasa]

Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah)

Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala,

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al An’am [6] : 101), maksudnya adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya.

Juga firman-Nya,

قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ

“Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara rasul-rasul’.” (QS. Al Ahqaf [46] : 9) , maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini. (Lihat Lisanul ‘Arob, 8/6, Barnamej Al Muhadits Al Majaniy-Asy Syamilah)

[Definisi Secara Istilah]

Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:

عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ

Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.

Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi).

Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bid’ah, mereka mendefinisikan bahwa bid’ah adalah

طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ

Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah). (Al I’tishom, 1/26, Asy Syamilah)

Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,

وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ

“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/346, Asy Syamilah)

Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna. (Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al Fairuz Abadiy dalam Basho’iru Dzawit Tamyiz, 2/231, yang dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 26, Dar Ar Royah)

Sebenarnya terjadi perselisihan dalam definisi bid’ah secara istilah. Ada yang memakai definisi bid’ah sebagai lawan dari sunnah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Asy Syatibi, Ibnu Hajar Al Atsqolani, Ibnu Hajar Al Haitami, Ibnu Rojab Al Hambali dan Az Zarkasi. Sedangkan pendapat kedua mendefinisikan bid’ah secara umum, mencakup segala sesuatu yang diada-adakan setelah masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik yang terpuji dan tercela. Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Al ‘Izz bin Abdus Salam, Al Ghozali, Al Qorofi dan Ibnul Atsir. Pendapat yang lebih kuat dari dua kubu ini adalah pendapat pertama karena itulah yang mendekati kebenaran berdasarkan keumuman dalil yang melarang bid’ah. Dan penjelasan ini akan lebih diperjelas dalam penjelasan selanjutnya. (Lihat argumen masing-masing pihak dalam Al Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, www.islamspirit.com)

Inilah sedikit muqodimah mengenai definisi bid’ah dan berikut kita akan menyimak beberapa kerancuan seputar bid’ah. Pada awalnya kita akan melewati pembahasan ‘apakah setiap bid’ah itu sesat?’. Semoga kita selalu mendapat taufik Allah.

***

Disusun oleh : Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh : Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Jumat, 20 Agustus 2010

"Pakaian hanyalah zhohir dan masalah kulit saja, yang penting kan hatinya" (??)

"Pakaian hanyalah zhohir dan masalah kulit saja, yang penting kan hatinya" (??)
Posted on 28 Juni 2010 by Ummu Shofiyyah al-Balitariyyah

Oleh: Syaikhoh Sukainah bintu Muhammad Nashiruddin al-Albaniyyah hafidzohalloh

Syubhat:

“Iman dan Takwa itu di dalam hati, sedangkan pakaian hanyalah zhohir dan masalah kulit saja, yang penting kan hatinya.”

Jawaban:

Rosululloh alaihis sholatu was salam bersabda di akhir hadits an-Nu’man bin Basyir rodhiyallohu anhu:

وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ؛ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ؛ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, bila ia baik niscaya seluruh jasad akan baik, dan bila ia rusak, niscaya seluruh jasad akan rusak pula, ketahuilah segumpal daging itu ialah hati[*].” [Shohih al-Bukhori (52)]

[*] al-Qolbu terjemahan yang sebenarnya adalah jantung, tapi dalam bahasa kita lebih populer disebut dengan hati, istilah populer inilah yang akan kita gunakan, pent.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata:

“Hati merupakan pondasi, jika padanya terdapat pengetahuan dan keinginan, ia akan menerapkannya ke badan jika perlu. Tidak mungkin badan menyelisihi apa yang diinginkan hati, oleh karena itu Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang shohih: “Ketahuilah bahwa di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, bila ia baik niscaya seluruh jasad akan baik, dan bila ia rusak, niscaya seluruh jasad akan rusak pula, ketahuilah segumpal daging itu ialah hati.” [Kitab al-Iman hal. 235]

Ayahku (al-Albani, pent) rohimahulloh ketika menyebutkan hadits ini berkata:

“Diantara keajaiban yang gaib lagi rinci, yang seandainya syariat yang mulia ini tidak menjelaskannya maka kita tidak akan mengetahuinya, adalah bahwa seluruh yang zhohir dan yang batin itu saling mendukung dan membantu. Jika hati itu kuat, zhohir nya pun akan baik. Dan jika zhohirnya itu baik, hati pun akan bertambah kuat, dan begitulah seterusnya. Oleh karena itu bisa kita simpulkan sesuatu yang sangat penting, yaitu hendaknya bagi setiap muslim yang memperhatikan hukum-hukum agamanya untuk menampakkan zhohirnya sebagaimana batinnya. Dan janganlah engkau mengikuti perkataan orang-orang bodoh ketika engkau menyuruh mereka untuk menunaikan apa-apa yang diwajibkan Alloh atas mereka, misalnya sholat, lalu mereka pun berkata padamu: “wahai saudaraku! Yang penting itu bukan sholatnya, yang penting itu apa yang ada di hati”. Seandainya hati orang ini sehat, tentu anggota tubuhnya akan berbuat berdasarkan hatinya yang sehat.” [Sisilatul Huda wan Nur kaset no. 201 menit ke-10]

Dan ayahku menyebutkan dalam kitab Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah (hal. 210-212) hadits-hadits yang menunjukkan pengaruh yang zhohir pada yang batin:

1. Dari Jabir bin Samuroh, ia berkata:

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَآنَا حِلَقًا، فَقَالَ: «مَا لِي أَرَاكُمْ عِزِينَ؟

Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam keluar kepada kami, lalu beliau melihat kami duduk berpencar dalam beberapa kelompok, maka beliau bersabda: “mengapa aku melihat kalian berpencar-pencar?” [Shohih Muslim (430)]

Makna ‘Iziin adalah berpencar berkelompok-kelompok, yakni dengan sebuah huruf Zai yang di-takhfiif (lawan kata tasydid, pent), bentuk jamak dari ‘izah yaitu sebuah halaqoh orang-orang yang terkumpul jadi satu. Dan asal katanya adalah ‘Izwah. [an-Nihayah (3/233)]

2. Dari Abu Tsa’labah al-Khusyani, is berkata:

كان النَّاسُ إذا نَزَلُوا مَنْزِلاً تَفَرَّقُوا فِي الشِّعَابِ وَالأَوْدِيَةِ، فقال رسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إنَّ تَفَرُّقَكُمْ فِي هذهِ الشِّعَابِ وَالأَوْدِيَةِ؛ إِنَّمَا ذَلِكُمْ مِنَ الشَّيْطَانِ». فَلَمْ يَنْزِلْ بَعْدَ ذلك مَنْزِلاً إلاَّ انْضَمَّ بَعْضُهُم إلى بَعْضٍ، حَتَّى يُقال: لو بُسِطَ عَليهِم ثَوْبٌ لَعَمَّهُمْ

“Dahulu orang-orang jika singgah di suatu tempat, mereka berpencar-pencar di lembah-lembah. Maka Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya terpencarnya kalian di lembah ini, tidak lain merupakan perbuatan setan.” Setelah itu, tidaklah mereka singgah di suatu tempat melainkan mereka menggabungkan diri antara satu dengan yang lain, sampai-sampai dikatakan: “seandainya dibentangkan kain untuk mereka, niscaya bisa melingkupi mereka”. [Shohih Sunan Abi Dawud (2363)]

3. Dari an-Nu’man bin Basyir rodhiyallohu anhu, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي صُفُوفَنَا حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّي بِهَا الْقِدَاحَ، حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ، ثُمَّ خَرَجَ يَوْمًا فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ، فَرَأَى رَجُلاً بَادِيًا صَدْرُهُ مِنَ الصَّفِّ، فَقَالَ:« عِبَادَ اللهِ! لَتُسَـوُّنَّ صُفُوفَكُمْ، أَوْ لَيُخَـالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُــوهِكُمْ» وفي رواية: «قُلُوبِكُمْ».

“Dulu Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam meluruskan shof-shof kami sehingga seakan beliau meluruskan anak panah (ketika diruncingkan,pen), sampai beliau menganggap kami telah memahaminya. Beliau pernah keluar pada suatu hari, lalu beliau berdiri sampai beliau hampir bertakbir, maka tiba-tiba beliau melihat seseorang yang membusungkan dadanya dari shof. Maka beliau bersabda, “Wahai para hamba Alloh, kalian akan benar-benar akan meluruskan shof kalian atau Alloh akan membuat wajah-wajah kalian berselisih.” Dan dalam riwayat lain: “hati kalian” [HR. Muslim (436) dan riwayat lain tersebut terdapat dalam Shohih Sunan Abi Dawud (668)]

An-Nawawi rohimahulloh dalam syarahnya terhadap hadits ini berkata:

“dan perselisihan dalam hal yang zhohir adalah penyebab terjadinya perselisihan batin.” [al-Minhaj hal. 368]

Ayahku rohimahulloh berkata:

“Hadits ini menunjukkan bahwa perselisihan hal yang zhohir, walaupun hanya sebatas masalah meluruskan shof, merupakan hal yang bisa menyebabkan perselisihan hati. Hal ini menunjukkan bahwa hal yang zhohir memiliki pengaruh terhadap yang batin. Oleh karena itu kami melihat bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam melarang perpecahan/perselisihan, walaupun hanya sekedar masalah duduk-duduk berkelompok.” [Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah hal. 210]

Dan beliau rohimahulloh juga berkata:

“Perkara-perkara yang zhohir memiliki pengaruh yang besar terhadap hati yang tersimpan dan tersembunyi di dalam dada, baik perkara yang zhohir tersebut adalah hal yang baik maupun buruk. Maka kedua jenis ini memiliki pengaruh pada hati. Jika zhohirnya baik maka mempengaruhi hati kepada kebaikan, dan jika buruk maka mempengaruhi hati kepada keburukan. Dan hakikat syar’i ini telah ada sebelum ditemukannya fakta ilmiah psikologi, hal ini dikarenakan Islam telah mendahului seluruh ilmu yang menemukan fakta-fakta dalam waktu yang singkat ataupun lama, yang dahulunya manusia lalai darinya.” Sampai perkataan beliau rohimahulloh: “Memperbaiki perkara yang zhohir merupakan sebab yang syar’i untuk memperbaiki perkara yang batin.” [Silsilatul Huda wan Nur kaset no. 213 menit ke-11]

***

Sumber: Diterjemahkan dari file Presentasi “لباس المرأة المسلمة أمام المرأة المسلمة “ yang disusun oleh Syaikhoh Sukainah bintu Muhammad Nashiruddin al-Albaniyyah hafidzohalloh, Slide 54 – 61.

Kamis, 19 Agustus 2010

Puasa Romadhan & Berhari Raya Bersama ..

Puasa Romadhan & Berhari Raya Bersama .. Cetak kirim sebagai e-Mail
Ditulis Oleh Syaikh Jamal bin Furaihan Al-Haritsi Hafizahullohu Ta’ala
Rabu, 19 Agustus 2009
(Nasehat Bagi yang Menyelisihi Pemerintah)
Merupakan hal yang telah dimaklumi pada hari ini, bahwa setiap penguasa memiliki wilayah tersendiri atas satu negeri, dimana wilayah kekuasaannya pada ruang lingkup penduduk negerinya, yang perintah-perintahnya senantiasa dijalankan, dan wajib untuk ditaati selama bukan dalam bermaksiat kepada Allah Ta’ala, sementara diluar penduduk negeri yang lain juga memiliki penguasa tersendiri.

Jika hal ini telah dimaklumi, maka tidak boleh bagi seorang rakyat yang mengikuti hukum penguasa tertentu, untuk keluar dari ketetapan penguasanya –yang Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan kewajiban taat kepadanya selama bukan dalam perkara kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman:

( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُم(. [النساء: 59

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul,dan kepadaulil amri diantara kalian.” (QS.An-Nisaa:59)
Nasehat saya kepada saudara-saudaraku yang menyelisihi puasanya, idul fitrinya, dan hari kurbannya, dengan penguasa negeri mereka dinegeri islam manapun mereka hidup, agar hendaknya mereka bertaqwa kepada Allah Ta’ala dan jangan menyelisihi mereka, dan jangan pula mereka berselisih kepada imam-nya, jika Ia telah mengumumkan masuknya bulan ramadhan atau idul fitri, bagaimanapun kondisi penguasanya dalam menyelisihi agama Allah Ta’ala, selama tidak terdapat pada mereka kekufuran yang jelas seperti terangnya matahari disiang bolong, yang mengeluarkan dia dari islam.
Sesungguhnya orang yang menyelisihi imamnya ini, dan menyelisihi jama’ah kaum muslimin di negerinya, telah bersifat dengan sifat khawarij, yaitu keluar dari ketaatan kepada penguasa terhadap apa yang diperintahkannya –yang bukan dalam bermaksiat kepada Allah- , dan sungguh Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada kita untuk ta’at kepada waliyyul amri, Allah Azza wajalla berfirman:

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً). [النساء: 59].

"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul , dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.(QS.An-Nisaa:59)

Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk taat kepadanya,Beliau bersabda:

( تسمع وتطيع للأمير وإن ضرب ظهرك وأخذ مالك فاسمع وأطع ). أخرجه مسلم (1847)، وغيره.

“Engkau mendengar dan taat kepada penguasa,meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu,maka dengar dan taatlah”
(HR.Muslim (1847) dan selainnya)

Diantara sifat kaum Khawarij yang paling menonjol adalah menyelisihi penguasa,dan mengobarkan fitnah terhadapnya dengan cara membakar semangat masyarakat,sehingga mereka merasa sempit terhadap penguasanya yang menyebabkan munculnya sikap keengganan untuk mendengar dan taat terhadap apa yang dia perintah dan yang dia larang –bukan dalam bermaksiat kepada Allah Ta’ala- ,sehingga menyebabkan kekacauan memenuhi penjuru negeri dengan sebab ulah kaum Khawarij ini,yang awal bibit munculnya adalah seseorang yang bernama “Dzul Khuwaishirah Zuhair bin Harqus At-Tamimi” yang berkata kepada pemimpin seluruh manusia (Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam): “berbuat adil engkau wahai Muhammad”.Dan yang lainnya dari ucapan-ucapan kotor yang dia lontarkan terhadap Nabi pembawa rahmat dan hidayah ini,sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa riwayat.
Kemudian yang kedua dari mereka adalah Bin Saba’ seorang yahudi yang datang dari negeri Yaman dan menampakkan islam secara zahir dan menyembunyikan kemunafikannya.Lalu dia mengobarkan fitnah pada zaman Dzun Nurain Utsman bin Affan radhiallahu anhu,sehingga menyebabkan segelintir orang-orang sempalan memberontak kepada beliau sebagai khalifah rasyid lalu membunuhnya dalam keadaan beliau di rumahnya membaca firman Rabb Yang Maha Tinggi dan Mulia.
Lalu mereka memberontak lagi pada zaman khalifah rasyid Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu ,lalu Beliau memerangi mereka di Nahrawan.Lalu merekapun membuat makar terhadap Ali radhiallahu anhu yang menyebabkan Beliau dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi ,disaat Beliau sedang keluar untuk mengerjakan shalat fajar.
Aku peringatkan kalian dari sikap mendahului penguasa dalam satu perkara,sehingga kalian keluar dari bimbingan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.Telah dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam At-tarikh Al-kabir (4/271/2773) dari Syumaim bin Abdirrahman berkata: aku berada disisi Al-Hajjaj pada hari yang diragukan (yaitu hari yang tidak diketahui apakah telah memasuki ramadhan atau masih dibulan Sya’ban,dan itu terjadi jika dimalam setelah berlalunya 29 sya’ban dan terjadi mendung yang menghalangi untuk melihat hilal,pen), maka Dia mengutus kepada Abdullah bin Ukaim,lalu bertanya: apakah engkau pernah menyaksikan bulan ini bersama Nabi Shallallahu alaihi wasallam? Beliau menjawab: tidak.Akan tetapi (Aku pernah) bersama Umar bin Khattab radhiallahu anhu.Lalu Ia bertanya: Lalu apa yang dia katakan? Beliau menjawab: Dia (Umar) berkata: Berpuasalah kalian karena melihatnya, dan berbukalah (memasuki syawal) kalian karena melihatnya.Ingatlah,jangan kalian mendahului Imam”.Maka berkata Al-Hajjaj: ada satu kalimat yang saya tidak memahaminya.Berkata para shahabat kami,Beliau berkata: demi Allah ini adalah perkara sunnah.
Berkata Abdullah: Demi Allah,sesungguhnya Beliau (Umar bin Khattab) adalah imam bagi orang-orang yang bertaqwa. (selesai penukilan)
Abdullah yang dimaksud adalah Imam Bukhari.
Inilah Umar bin Khattab radhiallahu anhu melarang seseorang mendahului penguasanya dalam berpuasa dan berhari raya.Apakah kaum muslimin memahami hal ini,lalu mengikuti sunnah agar mereka beruntung dan selamat.Dan Allah senantiasa memberi hidayah kepada jalan yang lurus.
Berkata Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala dalam majmu’ al-fatawa (25/118):
“persyaratan bulan disebut hilal dan syahr,pada saat telah masyhur dan menyebar dikalangan manusia. Meskipun yang melihatnya 10 orang,namun belum masyhur dikalangan penduduk negeri disebabkan karena persaksian mereka yang ditolak,atau karena mereka tidak mempersaksikan apa yang mereka lihat,maka hukumnya sama seperti kaum muslimin lainnya.Sebagaimana mereka tidak melakukan wukuf ,berkurban dan shalat ied kecuali bersama kaum muslimin,maka demikian pula mereka tidak berpuasa melainkan bersama kaum muslimin.Ini makna dari Sabda Beliau Shallallahu alaihi wasallam:
(صومكم يوم تصومون، وفطركم يوم تفطرون، و أضحاكم يوم تضحون ).

“puasa kalian dihari mayoritas kalian berpuasa,idul fitri kalian dihari mayoritas kalian beridul fitri,dan idul adha kalian dihari mayoritas kalian beridul adha.”
Berkata Imam Ahmad dalam riwayatnya:
“seseorang berpuasa bersama pemimpin dan jama’ah kaum muslimin baik disaat cuaca cerah atau mendung.Berkata Imam Ahmad: tangan Allah bersama jama’ah.”
Beliau (Syaikhul Islam) juga berkata (25/204-205):
“orang yang sendirian melihat hilal syawal tidak boleh berbuka puasa berdasarkan kesepakatan ulama,kecuali jika dia mempunyai halangan yang membolehkan dia untuk membatalkan puasa,seperti sakit dan safar.Apakah dia boleh tidak puasa dengan cara rahasia (tidak terang-terangan)? Ada dua pendapat dari para ulama,yang paling shahih bahwa dia jangan berbuka secara rahasia.Dan ini adalah mazhab Malik,dan Ahmad menurut yang paling masyhur dari mazhab keduanya.
Dan telah diriwayatkan bahwa ada dua orang dizaman Umar bin Khattab radhiallahu anhu melihat hilal yang menunjukkan masuknya syawal,maka salah satu dari keduanya berbuka,sedangkan yang lain tidak.Tatkala berita ini sampai kepada Umar radhiallahu anhu,Beliau berkata kepada yang tidak berpuasa:
“Kalau bukan karena temanmu,aku pasti telah menyakitimu dengan pukulan.”
Yang menjadi penyebab hal tersebut bahwa idul fitri adalah disaat mayoritas manusia beridul fitri dan itulah hari raya.Sedangkan orang yang sendirian melihat hilal bukanlah hari raya yang Nabi Shallallahu alaihi wasallam melarang berpuasa padanya.Sebab Nabi Shallallahu alaihi wasallam melarang dari berpuasa pada hari raya idul fitri dan idul adha.Dan Beliau mengatakan:

(أما أحدهما؛ فيوم فطركم من صومكم، وأما الآخر؛ فيوم تأكلون فيه من نسككم)

“Adapun salah satunya, adalah hari kalian makan setelah kalian berpuasa,adapun yang satunya,adalah kalian makan dari hasil sembelihan kalian.”
Maka yang Beliau larang dari berpuasa adalah hari dimana kaum muslimin sudah tidak berpuasa,dan disaat kaum muslimin menyembelih kurban.” (selesai penukilan)

Ibnul Qoyyim rahimahullah Ta’ala berkata dalam “tahdzib as-sunan” (3/214) tatkala mengomentari hadits “dan tidak puasanya kalian disaat mayoritas kalian tidak berpuasa…”, Beliau berkata:
“dikatakan: jika ada satu orang yang melihat hilal,sementara hakim tidak menerima persaksiannya,maka ini bukanlah hari dia berpuasa,sebagaimana keumuman manusia lainnya tidak berpuasa.” (selesai penukilan)
Berkata Al-Albani rahimahullah dalam Ash-shahihah (1/392-394):
“Berkata Abul Hasan As-Sindi dalam catatan kaki Beliau terhadap Sunan Ibnu Majah –setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Tirmizi-: wajib bagi setiap orang untuk mengikuti imam dan jama’ah (kaum muslimin). yang nampak maknanya adalah: perkara-perkara ini bukanlah urusan masing-masing individu,dan bukan pula seseorang bersendiri dengan menyelisihi imam dan jama’ah (kaum muslimin),Maka berdasarkan hal ini,jika seseorang melihat hilal sendirian,lalu penguasa menolak persaksiannya,maka sepantasnya untuk tidak ditetapkan satupun padanya dalam perkara-perkara ini,dan wajib baginya mengikuti jama’ah (kaum muslimin) dalam hal tersebut.”
Aku (Syaikh Al-Albani) berkata: inilah makna yang nampak dari hadits itu.Dan juga dikuatkan dengan hujjah Aisyah membantah Masruq ketika Ia enggan berpuasa pada hari Arafah (9 zulhijjah,pen) karena khawatir sudah memasuki hari raya kurban (10 zulhijjah).
Maka Beliau (Aisyah) menjelaskan kepadanya bahwa pendapatnya tersebut tidak teranggap,dan wajib baginya mengikuti jama’ah.Dan Beliau berkata:
“Hari kurban adalah disaat mayoritas manusia berkurban,dan idul fitri adalah disaat mayoritas manusia beridul fitri.”
Saya (Al-Albani) berkata: inilah yang sejalan dengan syari’at yang penuh kelapangan ini, yang diantara tujuannya adalah menyatukan manusia dan menyatukan barisan mereka,serta menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang memecah persatuan mereka dari berbagai pendapat pribadi,maka syari’at ini tidak menganggap pribadi seseorang –meskipun dalam pandangannya bahwa dia benar- dalam menetapkan ibadah yang bersifat jama’ah,seperti berpuasa, merayakan hari raya, dan shalat jama’ah. Tidakkah kalian perhatikan bahwa para sahabat radhiallahu anhum sebagian mereka shalat dibelakang sebagian lainnya,padahal diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita dan menyentuh anggota tubuhnya,dan keluarnya darah termasuk perkara yang membatalkan wudhu’,dan diantara mereka ada yang tidak berpendapat demikian.Diantara mereka ada yang berpendapat menyempurnakan shalat dikala safar,dan diantara mereka ada yang berpendapat mengqashar,namun perselisihan mereka dalam hal ini dan yang lainnya tidak mencegah mereka untuk tetap bersatu dalam shalat dibelakang satu imam,dan menganggap sah amalan tersebut.Sebab mereka mengetahui bahwa perpecahan dalam agama lebih jelek dibanding perselisihan dalam sebagian pendapat.Perkara ini sampai kepada tingkatan tidak menganggap pendapat seseorang yang menyelisihi pendapat seorang penguasa tertinggi dalam sebuah masyarakat besar seperti Mina,bahkan sampai meninggalkan pendapatnya sendiri dalam masyarakat besar tersebut karena menghindari keburukan yang akan muncul tatkala Ia beramal dengan pendapatnya.
Hendaklah mereka yang selalu saja membuat perpecahan memperhatikan hadits dan atsar yang telah disebutkan ini, dan juga mereka yang mengaku berilmu,dari mereka yang berpuasa dan berbuka sendirian apakah mendahului,atau mengakhirkan dari jama’ah kaum muslimin,karena bersandar kepada pendapat dan ilmunya,tanpa memperhatikan sikap keluar dari ketaatan terhadap penguasa mereka.Hendaknya mereka semua memperhatikan apa yang telah kami sebutkan berupa ilmu,semoga mereka mendapatkan penyembuh jiwa-jiwa mereka dari kejahilan dan tipu daya,sehingga mereka berada pada satu barisan yang sama dengan saudara-saudara mereka kaum muslimin,karena sesungguhnya tangan Allah bersama jama’ah.
(selesai dari Ash-Shahihah)
Maka berdasarkan hal ini,tidak sepantasnya bagi masing-masing individu, dan kelompok-kelompok tertentu untuk berpuasa atau keluar dari bulan ramadhan dengan pengumuman melihat hilal dari negara lain,selama penguasa negerinya belum mengumumkan masuknya bulan.Semoga Allah senantiasa memberi taufiq.
Asy-Syaikh Jamal bin Furaihan Al-Haritsi dalam kitabnya “kasyf al-libaas ‘an ahkaam ru’yah al-hilal linnaas”.





Diterjemahkan oleh : Abu Karimah Askari bin Jamal
Tanggal 27 Sya’ban 1430 H.


“Wahai orang-orang yang beriman,taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul, dan kepadaulil amri diantara kalian.” (QS.An-Nisaa:59)
Nasehat saya kepada saudara-saudaraku yang menyelisihi puasanya,idul fitrinya, dan hari kurbannya,dengan penguasa negeri mereka dinegeri islam manapun mereka hidup, agar hendaknya mereka bertaqwa kepada Allah Ta’ala dan jangan menyelisihi mereka, dan jangan pula mereka berselisih kepada imam-nya, jika Ia telah mengumumkan masuknya bulan ramadhan atau idul fitri, bagaimanapun kondisi penguasanya dalam menyelisihi agama Allah Ta’ala, selama tidak terdapat pada mereka kekufuran yang jelas seperti terangnya matahari disiang bolong, yang mengeluarkan dia dari islam.
Sesungguhnya orang yang menyelisihi imamnya ini, dan menyelisihi jama’ah kaum muslimin di negerinya, telah bersifat dengan sifat khawarij, yaitu keluar dari ketaatan kepada penguasa terhadap apa yang diperintahkannya –yang bukan dalam bermaksiat kepada Allah- , dan sungguh Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada kita untuk ta’at kepada waliyyul amri ,Allah Azza wajalla berfirman:

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً). [النساء: 59].

"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul , dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS.An-Nisaa:59)

Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk taat kepadanya,Beliau bersabda:

( تسمع وتطيع للأمير وإن ضرب ظهرك وأخذ مالك فاسمع وأطع ). أخرجه مسلم (1847)، وغيره.

“Engkau mendengar dan taat kepada penguasa,meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu,maka dengar dan taatlah”
(HR.Muslim (1847) dan selainnya)

Diantara sifat kaum Khawarij yang paling menonjol adalah menyelisihi penguasa,dan mengobarkan fitnah terhadapnya dengan cara membakar semangat masyarakat, sehingga mereka merasa sempit terhadap penguasanya yang menyebabkan munculnya sikap keengganan untuk mendengar dan taat terhadap apa yang dia perintah dan yang dia larang –bukan dalam bermaksiat kepada Allah Ta’ala- ,sehingga menyebabkan kekacauan memenuhi penjuru negeri dengan sebab ulah kaum Khawarij ini,yang awal bibit munculnya adalah seseorang yang bernama “Dzul Khuwaishirah Zuhair bin Harqus At-Tamimi” yang berkata kepada pemimpin seluruh manusia (Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam): “berbuat adil engkau wahai Muhammad”. Dan yang lainnya dari ucapan-ucapan kotor yang dia lontarkan terhadap Nabi pembawa rahmat dan hidayah ini, sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa riwayat.
Kemudian yang kedua dari mereka adalah Bin Saba’ seorang yahudi yang datang dari negeri Yaman dan menampakkan islam secara zahir dan menyembunyikan kemunafikannya. Lalu dia mengobarkan fitnah pada zaman Dzun Nurain Utsman bin Affan radhiallahu anhu,sehingga menyebabkan segelintir orang-orang sempalan memberontak kepada beliau sebagai khalifah rasyid lalu membunuhnya dalam keadaan beliau di rumahnya membaca firman Rabb Yang Maha Tinggi dan Mulia.
Lalu mereka memberontak lagi pada zaman khalifah rasyid Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, lalu Beliau memerangi mereka di Nahrawan.Lalu merekapun membuat makar terhadap Ali radhiallahu anhu yang menyebabkan Beliau dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi, disaat Beliau sedang keluar untuk mengerjakan shalat fajar.
Aku peringatkan kalian dari sikap mendahului penguasa dalam satu perkara,sehingga kalian keluar dari bimbingan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.Telah dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam At-tarikh Al-kabir (4/271/2773) dari Syumaim bin Abdirrahman berkata: aku berada disisi Al-Hajjaj pada hari yang diragukan (yaitu hari yang tidak diketahui apakah telah memasuki ramadhan atau masih dibulan Sya’ban, dan itu terjadi jika dimalam setelah berlalunya 29 sya’ban dan terjadi mendung yang menghalangi untuk melihat hilal,pen), maka Dia mengutus kepada Abdullah bin Ukaim, lalu bertanya: apakah engkau pernah menyaksikan bulan ini bersama Nabi Shallallahu alaihi wasallam? Beliau menjawab: tidak. Akan tetapi (Aku pernah) bersama Umar bin Khattab radhiallahu anhu. Lalu Ia bertanya: Lalu apa yang dia katakan? Beliau menjawab: Dia (Umar) berkata: Berpuasalah kalian karena melihatnya, dan berbukalah (memasuki syawal) kalian karena melihatnya.Ingatlah,jangan kalian mendahului Imam”. Maka berkata Al-Hajjaj: ada satu kalimat yang saya tidak memahaminya. Berkata para shahabat kami, Beliau berkata: demi Allah ini adalah perkara sunnah.
Berkata Abdullah: Demi Allah, sesungguhnya Beliau (Umar bin Khattab) adalah imam bagi orang-orang yang bertaqwa. (selesai penukilan)
Abdullah yang dimaksud adalah Imam Bukhari.
Inilah Umar bin Khattab radhiallahu anhu melarang seseorang mendahului penguasanya dalam berpuasa dan berhari raya.Apakah kaum muslimin memahami hal ini, lalu mengikuti sunnah agar mereka beruntung dan selamat.Dan Allah senantiasa memberi hidayah kepada jalan yang lurus.

Berkata Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala dalam majmu’ al-fatawa (25/118):
“persyaratan bulan disebut hilal dan syahr,pada saat telah masyhur dan menyebar dikalangan manusia. Meskipun yang melihatnya 10 orang, namun belum masyhur dikalangan penduduk negeri disebabkan karena persaksian mereka yang ditolak, atau karena mereka tidak mempersaksikan apa yang mereka lihat, maka hukumnya sama seperti kaum muslimin lainnya. Sebagaimana mereka tidak melakukan wukuf, berkurban dan shalat ied kecuali bersama kaum muslimin, maka demikian pula mereka tidak berpuasa melainkan bersama kaum muslimin. Ini makna dari Sabda Beliau Shallallahu alaihi wasallam:
(صومكم يوم تصومون، وفطركم يوم تفطرون، و أضحاكم يوم تضحون ).

“puasa kalian dihari mayoritas kalian berpuasa,idul fitri kalian dihari mayoritas kalian beridul fitri,dan idul adha kalian dihari mayoritas kalian beridul adha.”

Berkata Imam Ahmad dalam riwayatnya:
“seseorang berpuasa bersama pemimpin dan jama’ah kaum muslimin baik disaat cuaca cerah atau mendung.Berkata Imam Ahmad: tangan Allah bersama jama’ah.”

Beliau (Syaikhul Islam) juga berkata (25/204-205):
“orang yang sendirian melihat hilal syawal tidak boleh berbuka puasa berdasarkan kesepakatan ulama, kecuali jika dia mempunyai halangan yang membolehkan dia untuk membatalkan puasa, seperti sakit dan safar.Apakah dia boleh tidak puasa dengan cara rahasia (tidak terang-terangan)? Ada dua pendapat dari para ulama, yang paling shahih bahwa dia jangan berbuka secara rahasia .Dan ini adalah mazhab Malik, dan Ahmad menurut yang paling masyhur dari mazhab keduanya.
Dan telah diriwayatkan bahwa ada dua orang dizaman Umar bin Khattab radhiallahu anhu melihat hilal yang menunjukkan masuknya syawal, maka salah satu dari keduanya berbuka, sedangkan yang lain tidak.Tatkala berita ini sampai kepada Umar radhiallahu anhu, Beliau berkata kepada yang tidak berpuasa:
“Kalau bukan karena temanmu,aku pasti telah menyakitimu dengan pukulan.”
Yang menjadi penyebab hal tersebut bahwa idul fitri adalah disaat mayoritas manusia beridul fitri dan itulah hari raya. Sedangkan orang yang sendirian melihat hilal bukanlah hari raya yang Nabi Shallallahu alaihi wasallam melarang berpuasa padanya. Sebab Nabi Shallallahu alaihi wasallam melarang dari berpuasa pada hari raya idul fitri dan idul adha. Dan Beliau mengatakan:

(أما أحدهما؛ فيوم فطركم من صومكم، وأما الآخر؛ فيوم تأكلون فيه من نسككم)

“Adapun salah satunya, adalah hari kalian makan setelah kalian berpuasa, adapun yang satunya,adalah kalian makan dari hasil sembelihan kalian.”
Maka yang Beliau larang dari berpuasa adalah hari dimana kaum muslimin sudah tidak berpuasa, dan disaat kaum muslimin menyembelih kurban.” (selesai penukilan)

Ibnul Qoyyim rahimahullah Ta’ala berkata dalam “tahdzib as-sunan” (3/214) tatkala mengomentari hadits “dan tidak puasanya kalian disaat mayoritas kalian tidak berpuasa…”, Beliau berkata:
“dikatakan: jika ada satu orang yang melihat hilal, sementara hakim tidak menerima persaksiannya,maka ini bukanlah hari dia berpuasa, sebagaimana keumuman manusia lainnya tidak berpuasa.” (selesai penukilan)

Berkata Al-Albani rahimahullah dalam Ash-shahihah (1/392-394):
“Berkata Abul Hasan As-Sindi dalam catatan kaki Beliau terhadap Sunan Ibnu Majah –setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Tirmizi-: wajib bagi setiap orang untuk mengikuti imam dan jama’ah (kaum muslimin). yang nampak maknanya adalah: perkara-perkara ini bukanlah urusan masing-masing individu, dan bukan pula seseorang bersendiri dengan menyelisihi imam dan jama’ah (kaum muslimin), Maka berdasarkan hal ini,jika seseorang melihat hilal sendirian, lalu penguasa menolak persaksiannya,maka sepantasnya untuk tidak ditetapkan satupun padanya dalam perkara-perkara ini, dan wajib baginya mengikuti jama’ah (kaum muslimin) dalam hal tersebut.”

Aku (Syaikh Al-Albani) berkata: inilah makna yang nampak dari hadits itu. Dan juga dikuatkan dengan hujjah Aisyah membantah Masruq ketika Ia enggan berpuasa pada hari Arafah (9 zulhijjah, pen) karena khawatir sudah memasuki hari raya kurban (10 zulhijjah).

Maka Beliau (Aisyah) menjelaskan kepadanya bahwa pendapatnya tersebut tidak teranggap, dan wajib baginya mengikuti jama’ah. Dan Beliau berkata:
“Hari kurban adalah disaat mayoritas manusia berkurban, dan idul fitri adalah disaat mayoritas manusia beridul fitri.”

Saya (Al-Albani) berkata: inilah yang sejalan dengan syari’at yang penuh kelapangan ini, yang diantara tujuannya adalah menyatukan manusia dan menyatukan barisan mereka, serta menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang memecah persatuan mereka dari berbagai pendapat pribadi, maka syari’at ini tidak menganggap pribadi seseorang –meskipun dalam pandangannya bahwa dia benar- dalam menetapkan ibadah yang bersifat jama’ah, seperti berpuasa, merayakan hari raya, dan shalat jama’ah. Tidakkah kalian perhatikan bahwa para sahabat radhiallahu anhum sebagian mereka shalat dibelakang sebagian lainnya, padahal diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita dan menyentuh anggota tubuhnya, dan keluarnya darah termasuk perkara yang membatalkan wudhu’, dan diantara mereka ada yang tidak berpendapat demikian. Diantara mereka ada yang berpendapat menyempurnakan shalat dikala safar, dan diantara mereka ada yang berpendapat mengqashar, namun perselisihan mereka dalam hal ini dan yang lainnya tidak mencegah mereka untuk tetap bersatu dalam shalat dibelakang satu imam, dan menganggap sah amalan tersebut.
Sebab mereka mengetahui bahwa perpecahan dalam agama lebih jelek dibanding perselisihan dalam sebagian pendapat. Perkara ini sampai kepada tingkatan tidak menganggap pendapat seseorang yang menyelisihi pendapat seorang penguasa tertinggi dalam sebuah masyarakat besar seperti Mina, bahkan sampai meninggalkan pendapatnya sendiri dalam masyarakat besar tersebut karena menghindari keburukan yang akan muncul tatkala Ia beramal dengan pendapatnya.

Hendaklah mereka yang selalu saja membuat perpecahan memperhatikan hadits dan atsar yang telah disebutkan ini, dan juga mereka yang mengaku berilmu, dari mereka yang berpuasa dan berbuka sendirian apakah mendahului, atau mengakhirkan dari jama’ah kaum muslimin, karena bersandar kepada pendapat dan ilmunya, tanpa memperhatikan sikap keluar dari ketaatan terhadap penguasa mereka.Hendaknya mereka semua memperhatikan apa yang telah kami sebutkan berupa ilmu, semoga mereka mendapatkan penyembuh jiwa-jiwa mereka dari kejahilan dan tipu daya, sehingga mereka berada pada satu barisan yang sama dengan saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena sesungguhnya tangan Allah bersama jama’ah.
(selesai dari Ash-Shahihah)

Maka berdasarkan hal ini,tidak sepantasnya bagi masing-masing individu, dan kelompok-kelompok tertentu untuk berpuasa atau keluar dari bulan ramadhan dengan pengumuman melihat hilal dari negara lain, selama penguasa negerinya belum mengumumkan masuknya bulan. Semoga Allah senantiasa memberi taufiq.

Asy-Syaikh Jamal bin Furaihan Al-Haritsi dalam kitabnya “kasyf al-libaas ‘an ahkaam ru’yah al-hilal linnaas”.

Diterjemahkan oleh : Abu Karimah Askari bin Jamal
Tanggal 27 Sya’ban 1430 H.

Senin, 09 Agustus 2010

Penjelasan Hadits Arbain Kedua: Penjelasan tentang Islam, Iman, dan Ihsan (5)

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

(Lanjutan Faedah dari Bagian Keempat)

24. Beriman kepada hari akhir. Hari akhir adalah hari kiamat, dinamakan hari akhir karena hari itu adalah masa putaran terakhir bagi umat manusia. Karena manusia mengalami empat masa:

1. Masa di perut ibunya.

2. Dunia ini.

3. Alam barzah.

4. Hari kiamat.

Tidak ada masa putaran setelah itu, hanya ada dua kemungkinan; masuk surga atau masuk nereka.

Beriman kepada hari akhir, masuk di dalamnya –sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua yang dikhabarkan oleh Nabi tentang apa-apa yang terjadi setelah kematian, masuk juga ke dalamnya adalah apa-apa yang akan terjadi di alam kubur. Yakni pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada orang-orang yang telah mati tentang Rabbnya, agama, dan Nabinya. Dan apa-apa yang akan manusia dapatkan di alam kubur, baik berupa kenikmatan atau siksaan. ”

25. Wajibnya beriman kepada taqdir, yang baik dan yang buruk. Hal itu dengan mengimani empat perkara,

-Mengimani bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu, baik secara global, secara rinci, sejak dahulu hingga selama-lamanya.

-Mengimani bahwa Allah telah mencatat taqdir segala sesuatu sampai hari kiamat di lauhul mahfuzh.

-Mengimani bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini terjadi dengan kehendak Allah, tidak ada sesuatu apapun yang lepas dari kehendak-Nya.

-Mengimani bahwa Allah menciptakan segala sesuatu. Oleh karena itu, segala sesuatu adalah makhluk ciptaan Allah, baik itu terjadi dengan perbuatan yang khusus dimiliki oleh-Nya, seperti menurunkan air hujan, mengeluarkan tumbuh-tumbuhan, atau perbuatan hamba dan perbuatan para makhluk, karena kehendak dan kemampuan. Sedangkan kehendak dan kemampuan adalah di antara sifat-sifat hamba. Sedangkan hamba dan sifat-sifatnya adalah makhluk Allah. Oleh karena itu, segala sesuatu yang ada di dalam semesta ini adalah hasil ciptaan Allah. Allah telah menakdirkan segala sesuatu hingga hari kiamat. Lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi.

Apapun yang telah ditakdirkan atas seseorang, tidak mungkin meleset darinya. Dan apapun yang tidak Dia takdirkan, tidak akan menimpanya. Inilah keenam rukun-rukun iman yang telah dijelaskan oleh Rasulullah dan iman seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan mengimani semua rukun-rukun tersebut.

26. Di antara faedah yang ada di dalam hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan. Ihsan adalah seseorang beribadah kepada Rabbnya dengan peribadahan raghbah (harapan) dan tholab (memohon), seolah-olah ia melihatnya, lalu ia suka untuk mencapainya. Ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Jika ia tidak sampai pada keadaan seperti ini, ia berada pada tingkatan yang ke dua, yaitu: beribadah kepada Allah dengan peribadahan khauf (takut) dan harab (lari) dari siksanya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Yakni, jika engkau tidak beribadah kepada-Nya seolah-olah engkau melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.

27. Pengetahuan tentang hari kiamat tersembunyi, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Maka barangsiapa mengaku bahwa dia mengetahuinya, maka dia pendusta. Pengetahuan tentang hal itu tidak diketahui oleh rasul yang paling utama dari kalangan malaikat dan manusia, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan Jibril.

28. Hari kiamat memiliki tanda-tanda, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,

فَهَلْ يَنظُرُونَ إِلَّا السَّاعَةَ أَن تَأْتِيَهُم بَغْتَةً فَقَدْ جَاء أَشْرَاطُهَا

“Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan hari kiamat (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya.” (Muhammad: 18)

Dan ulama telah membagi tanda-tanda kiamat menjadi tiga macam:

1. Yang telah berlalu.

2. Senantiada datang dengan bentuk yang baru.

3. Tidak datang kecuali tepat menjelang hari kiamat. Dan itu adalah tanda-tanda kiamat yang besar, seperti: turunnya Isa bin Maryam, Dajjal, Ya’juj dan Ma’juj, dan terbitnya matahari dari sebelah barat.

Nabi telah menyebutkan beberapa tanda hari kiamat, yaitu: (Budak wanita melahirkan tuannya), yakni: Seseorang wanita statusnya hamba sahaya, lalu wanita tersebut melahirkan anak perempuan, sampai anak tadi menjadi orang yang memiliki semisal ibunya. Ini merupakan ungkapan tentang cepat, banyak, dan tersebarnya harta di tengah-tengah manusia. Dan yang memperkuat hal itu adalah perumpamaan yang datang setelahnya, yaitu: “Engkau akan melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, telanjang lagi miskin, para penggembala kambing saling berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi. ”

29. Baiknya pengajaran Nabi, yang mana beliau bertanya kepada para shahabatnya, apakah mereka mengetahui orang yang bertanya tadi apa tidak, dalam rangka memberikan pengajaran kepada mereka melalui orang tersebut. Cara ini lebih mengena daripada beliau mengajarkan kepada mereka secara langsung (tanpa diawali dengan pertanyaan), karena jika beliau bertanya kepada mereka kemudian beliau memberitahukan kepada mereka setelah itu, maka yang demikian itu lebih mendorong untuk memahami dan meresapi apa yang beliau katakan.

30. Orang yang bertanya tentang ilmu dapat dianggap sebagai orang yang memberikan pengajaran. Telah lewat isyarat akan hal itu. Akan tetapi, aku ingin menjelaskan bahwa seseorang seyogyanya bertanya apa-apa yang dibutuhkan oleh orang-orang, kendati ia mengetahuinya, dalam rangka mendapatkan pahala pengajaran. Dan Allahlah Dzat Pemberi Taufik. (SELESAI)

(Dinukil untuk Blog Ulama Sunnah dari Syarah Arbain An Nawawiyah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, penerjemah Abu Abdillah Salim, Penerbit Pustaka Ar Rayyan. Silakan dicopy dengan mencantumkan URL http: //ulamasunnah. wordpress.com)