Daftar Blog Saya

Jumat, 20 Agustus 2010

"Pakaian hanyalah zhohir dan masalah kulit saja, yang penting kan hatinya" (??)

"Pakaian hanyalah zhohir dan masalah kulit saja, yang penting kan hatinya" (??)
Posted on 28 Juni 2010 by Ummu Shofiyyah al-Balitariyyah

Oleh: Syaikhoh Sukainah bintu Muhammad Nashiruddin al-Albaniyyah hafidzohalloh

Syubhat:

“Iman dan Takwa itu di dalam hati, sedangkan pakaian hanyalah zhohir dan masalah kulit saja, yang penting kan hatinya.”

Jawaban:

Rosululloh alaihis sholatu was salam bersabda di akhir hadits an-Nu’man bin Basyir rodhiyallohu anhu:

وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ؛ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ؛ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, bila ia baik niscaya seluruh jasad akan baik, dan bila ia rusak, niscaya seluruh jasad akan rusak pula, ketahuilah segumpal daging itu ialah hati[*].” [Shohih al-Bukhori (52)]

[*] al-Qolbu terjemahan yang sebenarnya adalah jantung, tapi dalam bahasa kita lebih populer disebut dengan hati, istilah populer inilah yang akan kita gunakan, pent.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata:

“Hati merupakan pondasi, jika padanya terdapat pengetahuan dan keinginan, ia akan menerapkannya ke badan jika perlu. Tidak mungkin badan menyelisihi apa yang diinginkan hati, oleh karena itu Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang shohih: “Ketahuilah bahwa di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, bila ia baik niscaya seluruh jasad akan baik, dan bila ia rusak, niscaya seluruh jasad akan rusak pula, ketahuilah segumpal daging itu ialah hati.” [Kitab al-Iman hal. 235]

Ayahku (al-Albani, pent) rohimahulloh ketika menyebutkan hadits ini berkata:

“Diantara keajaiban yang gaib lagi rinci, yang seandainya syariat yang mulia ini tidak menjelaskannya maka kita tidak akan mengetahuinya, adalah bahwa seluruh yang zhohir dan yang batin itu saling mendukung dan membantu. Jika hati itu kuat, zhohir nya pun akan baik. Dan jika zhohirnya itu baik, hati pun akan bertambah kuat, dan begitulah seterusnya. Oleh karena itu bisa kita simpulkan sesuatu yang sangat penting, yaitu hendaknya bagi setiap muslim yang memperhatikan hukum-hukum agamanya untuk menampakkan zhohirnya sebagaimana batinnya. Dan janganlah engkau mengikuti perkataan orang-orang bodoh ketika engkau menyuruh mereka untuk menunaikan apa-apa yang diwajibkan Alloh atas mereka, misalnya sholat, lalu mereka pun berkata padamu: “wahai saudaraku! Yang penting itu bukan sholatnya, yang penting itu apa yang ada di hati”. Seandainya hati orang ini sehat, tentu anggota tubuhnya akan berbuat berdasarkan hatinya yang sehat.” [Sisilatul Huda wan Nur kaset no. 201 menit ke-10]

Dan ayahku menyebutkan dalam kitab Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah (hal. 210-212) hadits-hadits yang menunjukkan pengaruh yang zhohir pada yang batin:

1. Dari Jabir bin Samuroh, ia berkata:

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَآنَا حِلَقًا، فَقَالَ: «مَا لِي أَرَاكُمْ عِزِينَ؟

Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam keluar kepada kami, lalu beliau melihat kami duduk berpencar dalam beberapa kelompok, maka beliau bersabda: “mengapa aku melihat kalian berpencar-pencar?” [Shohih Muslim (430)]

Makna ‘Iziin adalah berpencar berkelompok-kelompok, yakni dengan sebuah huruf Zai yang di-takhfiif (lawan kata tasydid, pent), bentuk jamak dari ‘izah yaitu sebuah halaqoh orang-orang yang terkumpul jadi satu. Dan asal katanya adalah ‘Izwah. [an-Nihayah (3/233)]

2. Dari Abu Tsa’labah al-Khusyani, is berkata:

كان النَّاسُ إذا نَزَلُوا مَنْزِلاً تَفَرَّقُوا فِي الشِّعَابِ وَالأَوْدِيَةِ، فقال رسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إنَّ تَفَرُّقَكُمْ فِي هذهِ الشِّعَابِ وَالأَوْدِيَةِ؛ إِنَّمَا ذَلِكُمْ مِنَ الشَّيْطَانِ». فَلَمْ يَنْزِلْ بَعْدَ ذلك مَنْزِلاً إلاَّ انْضَمَّ بَعْضُهُم إلى بَعْضٍ، حَتَّى يُقال: لو بُسِطَ عَليهِم ثَوْبٌ لَعَمَّهُمْ

“Dahulu orang-orang jika singgah di suatu tempat, mereka berpencar-pencar di lembah-lembah. Maka Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya terpencarnya kalian di lembah ini, tidak lain merupakan perbuatan setan.” Setelah itu, tidaklah mereka singgah di suatu tempat melainkan mereka menggabungkan diri antara satu dengan yang lain, sampai-sampai dikatakan: “seandainya dibentangkan kain untuk mereka, niscaya bisa melingkupi mereka”. [Shohih Sunan Abi Dawud (2363)]

3. Dari an-Nu’man bin Basyir rodhiyallohu anhu, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي صُفُوفَنَا حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّي بِهَا الْقِدَاحَ، حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ، ثُمَّ خَرَجَ يَوْمًا فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ، فَرَأَى رَجُلاً بَادِيًا صَدْرُهُ مِنَ الصَّفِّ، فَقَالَ:« عِبَادَ اللهِ! لَتُسَـوُّنَّ صُفُوفَكُمْ، أَوْ لَيُخَـالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُــوهِكُمْ» وفي رواية: «قُلُوبِكُمْ».

“Dulu Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam meluruskan shof-shof kami sehingga seakan beliau meluruskan anak panah (ketika diruncingkan,pen), sampai beliau menganggap kami telah memahaminya. Beliau pernah keluar pada suatu hari, lalu beliau berdiri sampai beliau hampir bertakbir, maka tiba-tiba beliau melihat seseorang yang membusungkan dadanya dari shof. Maka beliau bersabda, “Wahai para hamba Alloh, kalian akan benar-benar akan meluruskan shof kalian atau Alloh akan membuat wajah-wajah kalian berselisih.” Dan dalam riwayat lain: “hati kalian” [HR. Muslim (436) dan riwayat lain tersebut terdapat dalam Shohih Sunan Abi Dawud (668)]

An-Nawawi rohimahulloh dalam syarahnya terhadap hadits ini berkata:

“dan perselisihan dalam hal yang zhohir adalah penyebab terjadinya perselisihan batin.” [al-Minhaj hal. 368]

Ayahku rohimahulloh berkata:

“Hadits ini menunjukkan bahwa perselisihan hal yang zhohir, walaupun hanya sebatas masalah meluruskan shof, merupakan hal yang bisa menyebabkan perselisihan hati. Hal ini menunjukkan bahwa hal yang zhohir memiliki pengaruh terhadap yang batin. Oleh karena itu kami melihat bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam melarang perpecahan/perselisihan, walaupun hanya sekedar masalah duduk-duduk berkelompok.” [Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah hal. 210]

Dan beliau rohimahulloh juga berkata:

“Perkara-perkara yang zhohir memiliki pengaruh yang besar terhadap hati yang tersimpan dan tersembunyi di dalam dada, baik perkara yang zhohir tersebut adalah hal yang baik maupun buruk. Maka kedua jenis ini memiliki pengaruh pada hati. Jika zhohirnya baik maka mempengaruhi hati kepada kebaikan, dan jika buruk maka mempengaruhi hati kepada keburukan. Dan hakikat syar’i ini telah ada sebelum ditemukannya fakta ilmiah psikologi, hal ini dikarenakan Islam telah mendahului seluruh ilmu yang menemukan fakta-fakta dalam waktu yang singkat ataupun lama, yang dahulunya manusia lalai darinya.” Sampai perkataan beliau rohimahulloh: “Memperbaiki perkara yang zhohir merupakan sebab yang syar’i untuk memperbaiki perkara yang batin.” [Silsilatul Huda wan Nur kaset no. 213 menit ke-11]

***

Sumber: Diterjemahkan dari file Presentasi “لباس المرأة المسلمة أمام المرأة المسلمة “ yang disusun oleh Syaikhoh Sukainah bintu Muhammad Nashiruddin al-Albaniyyah hafidzohalloh, Slide 54 – 61.

Kamis, 19 Agustus 2010

Puasa Romadhan & Berhari Raya Bersama ..

Puasa Romadhan & Berhari Raya Bersama .. Cetak kirim sebagai e-Mail
Ditulis Oleh Syaikh Jamal bin Furaihan Al-Haritsi Hafizahullohu Ta’ala
Rabu, 19 Agustus 2009
(Nasehat Bagi yang Menyelisihi Pemerintah)
Merupakan hal yang telah dimaklumi pada hari ini, bahwa setiap penguasa memiliki wilayah tersendiri atas satu negeri, dimana wilayah kekuasaannya pada ruang lingkup penduduk negerinya, yang perintah-perintahnya senantiasa dijalankan, dan wajib untuk ditaati selama bukan dalam bermaksiat kepada Allah Ta’ala, sementara diluar penduduk negeri yang lain juga memiliki penguasa tersendiri.

Jika hal ini telah dimaklumi, maka tidak boleh bagi seorang rakyat yang mengikuti hukum penguasa tertentu, untuk keluar dari ketetapan penguasanya –yang Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan kewajiban taat kepadanya selama bukan dalam perkara kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman:

( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُم(. [النساء: 59

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul,dan kepadaulil amri diantara kalian.” (QS.An-Nisaa:59)
Nasehat saya kepada saudara-saudaraku yang menyelisihi puasanya, idul fitrinya, dan hari kurbannya, dengan penguasa negeri mereka dinegeri islam manapun mereka hidup, agar hendaknya mereka bertaqwa kepada Allah Ta’ala dan jangan menyelisihi mereka, dan jangan pula mereka berselisih kepada imam-nya, jika Ia telah mengumumkan masuknya bulan ramadhan atau idul fitri, bagaimanapun kondisi penguasanya dalam menyelisihi agama Allah Ta’ala, selama tidak terdapat pada mereka kekufuran yang jelas seperti terangnya matahari disiang bolong, yang mengeluarkan dia dari islam.
Sesungguhnya orang yang menyelisihi imamnya ini, dan menyelisihi jama’ah kaum muslimin di negerinya, telah bersifat dengan sifat khawarij, yaitu keluar dari ketaatan kepada penguasa terhadap apa yang diperintahkannya –yang bukan dalam bermaksiat kepada Allah- , dan sungguh Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada kita untuk ta’at kepada waliyyul amri, Allah Azza wajalla berfirman:

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً). [النساء: 59].

"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul , dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.(QS.An-Nisaa:59)

Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk taat kepadanya,Beliau bersabda:

( تسمع وتطيع للأمير وإن ضرب ظهرك وأخذ مالك فاسمع وأطع ). أخرجه مسلم (1847)، وغيره.

“Engkau mendengar dan taat kepada penguasa,meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu,maka dengar dan taatlah”
(HR.Muslim (1847) dan selainnya)

Diantara sifat kaum Khawarij yang paling menonjol adalah menyelisihi penguasa,dan mengobarkan fitnah terhadapnya dengan cara membakar semangat masyarakat,sehingga mereka merasa sempit terhadap penguasanya yang menyebabkan munculnya sikap keengganan untuk mendengar dan taat terhadap apa yang dia perintah dan yang dia larang –bukan dalam bermaksiat kepada Allah Ta’ala- ,sehingga menyebabkan kekacauan memenuhi penjuru negeri dengan sebab ulah kaum Khawarij ini,yang awal bibit munculnya adalah seseorang yang bernama “Dzul Khuwaishirah Zuhair bin Harqus At-Tamimi” yang berkata kepada pemimpin seluruh manusia (Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam): “berbuat adil engkau wahai Muhammad”.Dan yang lainnya dari ucapan-ucapan kotor yang dia lontarkan terhadap Nabi pembawa rahmat dan hidayah ini,sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa riwayat.
Kemudian yang kedua dari mereka adalah Bin Saba’ seorang yahudi yang datang dari negeri Yaman dan menampakkan islam secara zahir dan menyembunyikan kemunafikannya.Lalu dia mengobarkan fitnah pada zaman Dzun Nurain Utsman bin Affan radhiallahu anhu,sehingga menyebabkan segelintir orang-orang sempalan memberontak kepada beliau sebagai khalifah rasyid lalu membunuhnya dalam keadaan beliau di rumahnya membaca firman Rabb Yang Maha Tinggi dan Mulia.
Lalu mereka memberontak lagi pada zaman khalifah rasyid Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu ,lalu Beliau memerangi mereka di Nahrawan.Lalu merekapun membuat makar terhadap Ali radhiallahu anhu yang menyebabkan Beliau dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi ,disaat Beliau sedang keluar untuk mengerjakan shalat fajar.
Aku peringatkan kalian dari sikap mendahului penguasa dalam satu perkara,sehingga kalian keluar dari bimbingan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.Telah dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam At-tarikh Al-kabir (4/271/2773) dari Syumaim bin Abdirrahman berkata: aku berada disisi Al-Hajjaj pada hari yang diragukan (yaitu hari yang tidak diketahui apakah telah memasuki ramadhan atau masih dibulan Sya’ban,dan itu terjadi jika dimalam setelah berlalunya 29 sya’ban dan terjadi mendung yang menghalangi untuk melihat hilal,pen), maka Dia mengutus kepada Abdullah bin Ukaim,lalu bertanya: apakah engkau pernah menyaksikan bulan ini bersama Nabi Shallallahu alaihi wasallam? Beliau menjawab: tidak.Akan tetapi (Aku pernah) bersama Umar bin Khattab radhiallahu anhu.Lalu Ia bertanya: Lalu apa yang dia katakan? Beliau menjawab: Dia (Umar) berkata: Berpuasalah kalian karena melihatnya, dan berbukalah (memasuki syawal) kalian karena melihatnya.Ingatlah,jangan kalian mendahului Imam”.Maka berkata Al-Hajjaj: ada satu kalimat yang saya tidak memahaminya.Berkata para shahabat kami,Beliau berkata: demi Allah ini adalah perkara sunnah.
Berkata Abdullah: Demi Allah,sesungguhnya Beliau (Umar bin Khattab) adalah imam bagi orang-orang yang bertaqwa. (selesai penukilan)
Abdullah yang dimaksud adalah Imam Bukhari.
Inilah Umar bin Khattab radhiallahu anhu melarang seseorang mendahului penguasanya dalam berpuasa dan berhari raya.Apakah kaum muslimin memahami hal ini,lalu mengikuti sunnah agar mereka beruntung dan selamat.Dan Allah senantiasa memberi hidayah kepada jalan yang lurus.
Berkata Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala dalam majmu’ al-fatawa (25/118):
“persyaratan bulan disebut hilal dan syahr,pada saat telah masyhur dan menyebar dikalangan manusia. Meskipun yang melihatnya 10 orang,namun belum masyhur dikalangan penduduk negeri disebabkan karena persaksian mereka yang ditolak,atau karena mereka tidak mempersaksikan apa yang mereka lihat,maka hukumnya sama seperti kaum muslimin lainnya.Sebagaimana mereka tidak melakukan wukuf ,berkurban dan shalat ied kecuali bersama kaum muslimin,maka demikian pula mereka tidak berpuasa melainkan bersama kaum muslimin.Ini makna dari Sabda Beliau Shallallahu alaihi wasallam:
(صومكم يوم تصومون، وفطركم يوم تفطرون، و أضحاكم يوم تضحون ).

“puasa kalian dihari mayoritas kalian berpuasa,idul fitri kalian dihari mayoritas kalian beridul fitri,dan idul adha kalian dihari mayoritas kalian beridul adha.”
Berkata Imam Ahmad dalam riwayatnya:
“seseorang berpuasa bersama pemimpin dan jama’ah kaum muslimin baik disaat cuaca cerah atau mendung.Berkata Imam Ahmad: tangan Allah bersama jama’ah.”
Beliau (Syaikhul Islam) juga berkata (25/204-205):
“orang yang sendirian melihat hilal syawal tidak boleh berbuka puasa berdasarkan kesepakatan ulama,kecuali jika dia mempunyai halangan yang membolehkan dia untuk membatalkan puasa,seperti sakit dan safar.Apakah dia boleh tidak puasa dengan cara rahasia (tidak terang-terangan)? Ada dua pendapat dari para ulama,yang paling shahih bahwa dia jangan berbuka secara rahasia.Dan ini adalah mazhab Malik,dan Ahmad menurut yang paling masyhur dari mazhab keduanya.
Dan telah diriwayatkan bahwa ada dua orang dizaman Umar bin Khattab radhiallahu anhu melihat hilal yang menunjukkan masuknya syawal,maka salah satu dari keduanya berbuka,sedangkan yang lain tidak.Tatkala berita ini sampai kepada Umar radhiallahu anhu,Beliau berkata kepada yang tidak berpuasa:
“Kalau bukan karena temanmu,aku pasti telah menyakitimu dengan pukulan.”
Yang menjadi penyebab hal tersebut bahwa idul fitri adalah disaat mayoritas manusia beridul fitri dan itulah hari raya.Sedangkan orang yang sendirian melihat hilal bukanlah hari raya yang Nabi Shallallahu alaihi wasallam melarang berpuasa padanya.Sebab Nabi Shallallahu alaihi wasallam melarang dari berpuasa pada hari raya idul fitri dan idul adha.Dan Beliau mengatakan:

(أما أحدهما؛ فيوم فطركم من صومكم، وأما الآخر؛ فيوم تأكلون فيه من نسككم)

“Adapun salah satunya, adalah hari kalian makan setelah kalian berpuasa,adapun yang satunya,adalah kalian makan dari hasil sembelihan kalian.”
Maka yang Beliau larang dari berpuasa adalah hari dimana kaum muslimin sudah tidak berpuasa,dan disaat kaum muslimin menyembelih kurban.” (selesai penukilan)

Ibnul Qoyyim rahimahullah Ta’ala berkata dalam “tahdzib as-sunan” (3/214) tatkala mengomentari hadits “dan tidak puasanya kalian disaat mayoritas kalian tidak berpuasa…”, Beliau berkata:
“dikatakan: jika ada satu orang yang melihat hilal,sementara hakim tidak menerima persaksiannya,maka ini bukanlah hari dia berpuasa,sebagaimana keumuman manusia lainnya tidak berpuasa.” (selesai penukilan)
Berkata Al-Albani rahimahullah dalam Ash-shahihah (1/392-394):
“Berkata Abul Hasan As-Sindi dalam catatan kaki Beliau terhadap Sunan Ibnu Majah –setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Tirmizi-: wajib bagi setiap orang untuk mengikuti imam dan jama’ah (kaum muslimin). yang nampak maknanya adalah: perkara-perkara ini bukanlah urusan masing-masing individu,dan bukan pula seseorang bersendiri dengan menyelisihi imam dan jama’ah (kaum muslimin),Maka berdasarkan hal ini,jika seseorang melihat hilal sendirian,lalu penguasa menolak persaksiannya,maka sepantasnya untuk tidak ditetapkan satupun padanya dalam perkara-perkara ini,dan wajib baginya mengikuti jama’ah (kaum muslimin) dalam hal tersebut.”
Aku (Syaikh Al-Albani) berkata: inilah makna yang nampak dari hadits itu.Dan juga dikuatkan dengan hujjah Aisyah membantah Masruq ketika Ia enggan berpuasa pada hari Arafah (9 zulhijjah,pen) karena khawatir sudah memasuki hari raya kurban (10 zulhijjah).
Maka Beliau (Aisyah) menjelaskan kepadanya bahwa pendapatnya tersebut tidak teranggap,dan wajib baginya mengikuti jama’ah.Dan Beliau berkata:
“Hari kurban adalah disaat mayoritas manusia berkurban,dan idul fitri adalah disaat mayoritas manusia beridul fitri.”
Saya (Al-Albani) berkata: inilah yang sejalan dengan syari’at yang penuh kelapangan ini, yang diantara tujuannya adalah menyatukan manusia dan menyatukan barisan mereka,serta menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang memecah persatuan mereka dari berbagai pendapat pribadi,maka syari’at ini tidak menganggap pribadi seseorang –meskipun dalam pandangannya bahwa dia benar- dalam menetapkan ibadah yang bersifat jama’ah,seperti berpuasa, merayakan hari raya, dan shalat jama’ah. Tidakkah kalian perhatikan bahwa para sahabat radhiallahu anhum sebagian mereka shalat dibelakang sebagian lainnya,padahal diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita dan menyentuh anggota tubuhnya,dan keluarnya darah termasuk perkara yang membatalkan wudhu’,dan diantara mereka ada yang tidak berpendapat demikian.Diantara mereka ada yang berpendapat menyempurnakan shalat dikala safar,dan diantara mereka ada yang berpendapat mengqashar,namun perselisihan mereka dalam hal ini dan yang lainnya tidak mencegah mereka untuk tetap bersatu dalam shalat dibelakang satu imam,dan menganggap sah amalan tersebut.Sebab mereka mengetahui bahwa perpecahan dalam agama lebih jelek dibanding perselisihan dalam sebagian pendapat.Perkara ini sampai kepada tingkatan tidak menganggap pendapat seseorang yang menyelisihi pendapat seorang penguasa tertinggi dalam sebuah masyarakat besar seperti Mina,bahkan sampai meninggalkan pendapatnya sendiri dalam masyarakat besar tersebut karena menghindari keburukan yang akan muncul tatkala Ia beramal dengan pendapatnya.
Hendaklah mereka yang selalu saja membuat perpecahan memperhatikan hadits dan atsar yang telah disebutkan ini, dan juga mereka yang mengaku berilmu,dari mereka yang berpuasa dan berbuka sendirian apakah mendahului,atau mengakhirkan dari jama’ah kaum muslimin,karena bersandar kepada pendapat dan ilmunya,tanpa memperhatikan sikap keluar dari ketaatan terhadap penguasa mereka.Hendaknya mereka semua memperhatikan apa yang telah kami sebutkan berupa ilmu,semoga mereka mendapatkan penyembuh jiwa-jiwa mereka dari kejahilan dan tipu daya,sehingga mereka berada pada satu barisan yang sama dengan saudara-saudara mereka kaum muslimin,karena sesungguhnya tangan Allah bersama jama’ah.
(selesai dari Ash-Shahihah)
Maka berdasarkan hal ini,tidak sepantasnya bagi masing-masing individu, dan kelompok-kelompok tertentu untuk berpuasa atau keluar dari bulan ramadhan dengan pengumuman melihat hilal dari negara lain,selama penguasa negerinya belum mengumumkan masuknya bulan.Semoga Allah senantiasa memberi taufiq.
Asy-Syaikh Jamal bin Furaihan Al-Haritsi dalam kitabnya “kasyf al-libaas ‘an ahkaam ru’yah al-hilal linnaas”.





Diterjemahkan oleh : Abu Karimah Askari bin Jamal
Tanggal 27 Sya’ban 1430 H.


“Wahai orang-orang yang beriman,taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul, dan kepadaulil amri diantara kalian.” (QS.An-Nisaa:59)
Nasehat saya kepada saudara-saudaraku yang menyelisihi puasanya,idul fitrinya, dan hari kurbannya,dengan penguasa negeri mereka dinegeri islam manapun mereka hidup, agar hendaknya mereka bertaqwa kepada Allah Ta’ala dan jangan menyelisihi mereka, dan jangan pula mereka berselisih kepada imam-nya, jika Ia telah mengumumkan masuknya bulan ramadhan atau idul fitri, bagaimanapun kondisi penguasanya dalam menyelisihi agama Allah Ta’ala, selama tidak terdapat pada mereka kekufuran yang jelas seperti terangnya matahari disiang bolong, yang mengeluarkan dia dari islam.
Sesungguhnya orang yang menyelisihi imamnya ini, dan menyelisihi jama’ah kaum muslimin di negerinya, telah bersifat dengan sifat khawarij, yaitu keluar dari ketaatan kepada penguasa terhadap apa yang diperintahkannya –yang bukan dalam bermaksiat kepada Allah- , dan sungguh Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada kita untuk ta’at kepada waliyyul amri ,Allah Azza wajalla berfirman:

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً). [النساء: 59].

"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul , dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS.An-Nisaa:59)

Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk taat kepadanya,Beliau bersabda:

( تسمع وتطيع للأمير وإن ضرب ظهرك وأخذ مالك فاسمع وأطع ). أخرجه مسلم (1847)، وغيره.

“Engkau mendengar dan taat kepada penguasa,meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu,maka dengar dan taatlah”
(HR.Muslim (1847) dan selainnya)

Diantara sifat kaum Khawarij yang paling menonjol adalah menyelisihi penguasa,dan mengobarkan fitnah terhadapnya dengan cara membakar semangat masyarakat, sehingga mereka merasa sempit terhadap penguasanya yang menyebabkan munculnya sikap keengganan untuk mendengar dan taat terhadap apa yang dia perintah dan yang dia larang –bukan dalam bermaksiat kepada Allah Ta’ala- ,sehingga menyebabkan kekacauan memenuhi penjuru negeri dengan sebab ulah kaum Khawarij ini,yang awal bibit munculnya adalah seseorang yang bernama “Dzul Khuwaishirah Zuhair bin Harqus At-Tamimi” yang berkata kepada pemimpin seluruh manusia (Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam): “berbuat adil engkau wahai Muhammad”. Dan yang lainnya dari ucapan-ucapan kotor yang dia lontarkan terhadap Nabi pembawa rahmat dan hidayah ini, sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa riwayat.
Kemudian yang kedua dari mereka adalah Bin Saba’ seorang yahudi yang datang dari negeri Yaman dan menampakkan islam secara zahir dan menyembunyikan kemunafikannya. Lalu dia mengobarkan fitnah pada zaman Dzun Nurain Utsman bin Affan radhiallahu anhu,sehingga menyebabkan segelintir orang-orang sempalan memberontak kepada beliau sebagai khalifah rasyid lalu membunuhnya dalam keadaan beliau di rumahnya membaca firman Rabb Yang Maha Tinggi dan Mulia.
Lalu mereka memberontak lagi pada zaman khalifah rasyid Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, lalu Beliau memerangi mereka di Nahrawan.Lalu merekapun membuat makar terhadap Ali radhiallahu anhu yang menyebabkan Beliau dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi, disaat Beliau sedang keluar untuk mengerjakan shalat fajar.
Aku peringatkan kalian dari sikap mendahului penguasa dalam satu perkara,sehingga kalian keluar dari bimbingan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.Telah dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam At-tarikh Al-kabir (4/271/2773) dari Syumaim bin Abdirrahman berkata: aku berada disisi Al-Hajjaj pada hari yang diragukan (yaitu hari yang tidak diketahui apakah telah memasuki ramadhan atau masih dibulan Sya’ban, dan itu terjadi jika dimalam setelah berlalunya 29 sya’ban dan terjadi mendung yang menghalangi untuk melihat hilal,pen), maka Dia mengutus kepada Abdullah bin Ukaim, lalu bertanya: apakah engkau pernah menyaksikan bulan ini bersama Nabi Shallallahu alaihi wasallam? Beliau menjawab: tidak. Akan tetapi (Aku pernah) bersama Umar bin Khattab radhiallahu anhu. Lalu Ia bertanya: Lalu apa yang dia katakan? Beliau menjawab: Dia (Umar) berkata: Berpuasalah kalian karena melihatnya, dan berbukalah (memasuki syawal) kalian karena melihatnya.Ingatlah,jangan kalian mendahului Imam”. Maka berkata Al-Hajjaj: ada satu kalimat yang saya tidak memahaminya. Berkata para shahabat kami, Beliau berkata: demi Allah ini adalah perkara sunnah.
Berkata Abdullah: Demi Allah, sesungguhnya Beliau (Umar bin Khattab) adalah imam bagi orang-orang yang bertaqwa. (selesai penukilan)
Abdullah yang dimaksud adalah Imam Bukhari.
Inilah Umar bin Khattab radhiallahu anhu melarang seseorang mendahului penguasanya dalam berpuasa dan berhari raya.Apakah kaum muslimin memahami hal ini, lalu mengikuti sunnah agar mereka beruntung dan selamat.Dan Allah senantiasa memberi hidayah kepada jalan yang lurus.

Berkata Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala dalam majmu’ al-fatawa (25/118):
“persyaratan bulan disebut hilal dan syahr,pada saat telah masyhur dan menyebar dikalangan manusia. Meskipun yang melihatnya 10 orang, namun belum masyhur dikalangan penduduk negeri disebabkan karena persaksian mereka yang ditolak, atau karena mereka tidak mempersaksikan apa yang mereka lihat, maka hukumnya sama seperti kaum muslimin lainnya. Sebagaimana mereka tidak melakukan wukuf, berkurban dan shalat ied kecuali bersama kaum muslimin, maka demikian pula mereka tidak berpuasa melainkan bersama kaum muslimin. Ini makna dari Sabda Beliau Shallallahu alaihi wasallam:
(صومكم يوم تصومون، وفطركم يوم تفطرون، و أضحاكم يوم تضحون ).

“puasa kalian dihari mayoritas kalian berpuasa,idul fitri kalian dihari mayoritas kalian beridul fitri,dan idul adha kalian dihari mayoritas kalian beridul adha.”

Berkata Imam Ahmad dalam riwayatnya:
“seseorang berpuasa bersama pemimpin dan jama’ah kaum muslimin baik disaat cuaca cerah atau mendung.Berkata Imam Ahmad: tangan Allah bersama jama’ah.”

Beliau (Syaikhul Islam) juga berkata (25/204-205):
“orang yang sendirian melihat hilal syawal tidak boleh berbuka puasa berdasarkan kesepakatan ulama, kecuali jika dia mempunyai halangan yang membolehkan dia untuk membatalkan puasa, seperti sakit dan safar.Apakah dia boleh tidak puasa dengan cara rahasia (tidak terang-terangan)? Ada dua pendapat dari para ulama, yang paling shahih bahwa dia jangan berbuka secara rahasia .Dan ini adalah mazhab Malik, dan Ahmad menurut yang paling masyhur dari mazhab keduanya.
Dan telah diriwayatkan bahwa ada dua orang dizaman Umar bin Khattab radhiallahu anhu melihat hilal yang menunjukkan masuknya syawal, maka salah satu dari keduanya berbuka, sedangkan yang lain tidak.Tatkala berita ini sampai kepada Umar radhiallahu anhu, Beliau berkata kepada yang tidak berpuasa:
“Kalau bukan karena temanmu,aku pasti telah menyakitimu dengan pukulan.”
Yang menjadi penyebab hal tersebut bahwa idul fitri adalah disaat mayoritas manusia beridul fitri dan itulah hari raya. Sedangkan orang yang sendirian melihat hilal bukanlah hari raya yang Nabi Shallallahu alaihi wasallam melarang berpuasa padanya. Sebab Nabi Shallallahu alaihi wasallam melarang dari berpuasa pada hari raya idul fitri dan idul adha. Dan Beliau mengatakan:

(أما أحدهما؛ فيوم فطركم من صومكم، وأما الآخر؛ فيوم تأكلون فيه من نسككم)

“Adapun salah satunya, adalah hari kalian makan setelah kalian berpuasa, adapun yang satunya,adalah kalian makan dari hasil sembelihan kalian.”
Maka yang Beliau larang dari berpuasa adalah hari dimana kaum muslimin sudah tidak berpuasa, dan disaat kaum muslimin menyembelih kurban.” (selesai penukilan)

Ibnul Qoyyim rahimahullah Ta’ala berkata dalam “tahdzib as-sunan” (3/214) tatkala mengomentari hadits “dan tidak puasanya kalian disaat mayoritas kalian tidak berpuasa…”, Beliau berkata:
“dikatakan: jika ada satu orang yang melihat hilal, sementara hakim tidak menerima persaksiannya,maka ini bukanlah hari dia berpuasa, sebagaimana keumuman manusia lainnya tidak berpuasa.” (selesai penukilan)

Berkata Al-Albani rahimahullah dalam Ash-shahihah (1/392-394):
“Berkata Abul Hasan As-Sindi dalam catatan kaki Beliau terhadap Sunan Ibnu Majah –setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Tirmizi-: wajib bagi setiap orang untuk mengikuti imam dan jama’ah (kaum muslimin). yang nampak maknanya adalah: perkara-perkara ini bukanlah urusan masing-masing individu, dan bukan pula seseorang bersendiri dengan menyelisihi imam dan jama’ah (kaum muslimin), Maka berdasarkan hal ini,jika seseorang melihat hilal sendirian, lalu penguasa menolak persaksiannya,maka sepantasnya untuk tidak ditetapkan satupun padanya dalam perkara-perkara ini, dan wajib baginya mengikuti jama’ah (kaum muslimin) dalam hal tersebut.”

Aku (Syaikh Al-Albani) berkata: inilah makna yang nampak dari hadits itu. Dan juga dikuatkan dengan hujjah Aisyah membantah Masruq ketika Ia enggan berpuasa pada hari Arafah (9 zulhijjah, pen) karena khawatir sudah memasuki hari raya kurban (10 zulhijjah).

Maka Beliau (Aisyah) menjelaskan kepadanya bahwa pendapatnya tersebut tidak teranggap, dan wajib baginya mengikuti jama’ah. Dan Beliau berkata:
“Hari kurban adalah disaat mayoritas manusia berkurban, dan idul fitri adalah disaat mayoritas manusia beridul fitri.”

Saya (Al-Albani) berkata: inilah yang sejalan dengan syari’at yang penuh kelapangan ini, yang diantara tujuannya adalah menyatukan manusia dan menyatukan barisan mereka, serta menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang memecah persatuan mereka dari berbagai pendapat pribadi, maka syari’at ini tidak menganggap pribadi seseorang –meskipun dalam pandangannya bahwa dia benar- dalam menetapkan ibadah yang bersifat jama’ah, seperti berpuasa, merayakan hari raya, dan shalat jama’ah. Tidakkah kalian perhatikan bahwa para sahabat radhiallahu anhum sebagian mereka shalat dibelakang sebagian lainnya, padahal diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita dan menyentuh anggota tubuhnya, dan keluarnya darah termasuk perkara yang membatalkan wudhu’, dan diantara mereka ada yang tidak berpendapat demikian. Diantara mereka ada yang berpendapat menyempurnakan shalat dikala safar, dan diantara mereka ada yang berpendapat mengqashar, namun perselisihan mereka dalam hal ini dan yang lainnya tidak mencegah mereka untuk tetap bersatu dalam shalat dibelakang satu imam, dan menganggap sah amalan tersebut.
Sebab mereka mengetahui bahwa perpecahan dalam agama lebih jelek dibanding perselisihan dalam sebagian pendapat. Perkara ini sampai kepada tingkatan tidak menganggap pendapat seseorang yang menyelisihi pendapat seorang penguasa tertinggi dalam sebuah masyarakat besar seperti Mina, bahkan sampai meninggalkan pendapatnya sendiri dalam masyarakat besar tersebut karena menghindari keburukan yang akan muncul tatkala Ia beramal dengan pendapatnya.

Hendaklah mereka yang selalu saja membuat perpecahan memperhatikan hadits dan atsar yang telah disebutkan ini, dan juga mereka yang mengaku berilmu, dari mereka yang berpuasa dan berbuka sendirian apakah mendahului, atau mengakhirkan dari jama’ah kaum muslimin, karena bersandar kepada pendapat dan ilmunya, tanpa memperhatikan sikap keluar dari ketaatan terhadap penguasa mereka.Hendaknya mereka semua memperhatikan apa yang telah kami sebutkan berupa ilmu, semoga mereka mendapatkan penyembuh jiwa-jiwa mereka dari kejahilan dan tipu daya, sehingga mereka berada pada satu barisan yang sama dengan saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena sesungguhnya tangan Allah bersama jama’ah.
(selesai dari Ash-Shahihah)

Maka berdasarkan hal ini,tidak sepantasnya bagi masing-masing individu, dan kelompok-kelompok tertentu untuk berpuasa atau keluar dari bulan ramadhan dengan pengumuman melihat hilal dari negara lain, selama penguasa negerinya belum mengumumkan masuknya bulan. Semoga Allah senantiasa memberi taufiq.

Asy-Syaikh Jamal bin Furaihan Al-Haritsi dalam kitabnya “kasyf al-libaas ‘an ahkaam ru’yah al-hilal linnaas”.

Diterjemahkan oleh : Abu Karimah Askari bin Jamal
Tanggal 27 Sya’ban 1430 H.

Senin, 09 Agustus 2010

Penjelasan Hadits Arbain Kedua: Penjelasan tentang Islam, Iman, dan Ihsan (5)

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

(Lanjutan Faedah dari Bagian Keempat)

24. Beriman kepada hari akhir. Hari akhir adalah hari kiamat, dinamakan hari akhir karena hari itu adalah masa putaran terakhir bagi umat manusia. Karena manusia mengalami empat masa:

1. Masa di perut ibunya.

2. Dunia ini.

3. Alam barzah.

4. Hari kiamat.

Tidak ada masa putaran setelah itu, hanya ada dua kemungkinan; masuk surga atau masuk nereka.

Beriman kepada hari akhir, masuk di dalamnya –sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua yang dikhabarkan oleh Nabi tentang apa-apa yang terjadi setelah kematian, masuk juga ke dalamnya adalah apa-apa yang akan terjadi di alam kubur. Yakni pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada orang-orang yang telah mati tentang Rabbnya, agama, dan Nabinya. Dan apa-apa yang akan manusia dapatkan di alam kubur, baik berupa kenikmatan atau siksaan. ”

25. Wajibnya beriman kepada taqdir, yang baik dan yang buruk. Hal itu dengan mengimani empat perkara,

-Mengimani bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu, baik secara global, secara rinci, sejak dahulu hingga selama-lamanya.

-Mengimani bahwa Allah telah mencatat taqdir segala sesuatu sampai hari kiamat di lauhul mahfuzh.

-Mengimani bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini terjadi dengan kehendak Allah, tidak ada sesuatu apapun yang lepas dari kehendak-Nya.

-Mengimani bahwa Allah menciptakan segala sesuatu. Oleh karena itu, segala sesuatu adalah makhluk ciptaan Allah, baik itu terjadi dengan perbuatan yang khusus dimiliki oleh-Nya, seperti menurunkan air hujan, mengeluarkan tumbuh-tumbuhan, atau perbuatan hamba dan perbuatan para makhluk, karena kehendak dan kemampuan. Sedangkan kehendak dan kemampuan adalah di antara sifat-sifat hamba. Sedangkan hamba dan sifat-sifatnya adalah makhluk Allah. Oleh karena itu, segala sesuatu yang ada di dalam semesta ini adalah hasil ciptaan Allah. Allah telah menakdirkan segala sesuatu hingga hari kiamat. Lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi.

Apapun yang telah ditakdirkan atas seseorang, tidak mungkin meleset darinya. Dan apapun yang tidak Dia takdirkan, tidak akan menimpanya. Inilah keenam rukun-rukun iman yang telah dijelaskan oleh Rasulullah dan iman seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan mengimani semua rukun-rukun tersebut.

26. Di antara faedah yang ada di dalam hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan. Ihsan adalah seseorang beribadah kepada Rabbnya dengan peribadahan raghbah (harapan) dan tholab (memohon), seolah-olah ia melihatnya, lalu ia suka untuk mencapainya. Ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Jika ia tidak sampai pada keadaan seperti ini, ia berada pada tingkatan yang ke dua, yaitu: beribadah kepada Allah dengan peribadahan khauf (takut) dan harab (lari) dari siksanya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Yakni, jika engkau tidak beribadah kepada-Nya seolah-olah engkau melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.

27. Pengetahuan tentang hari kiamat tersembunyi, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Maka barangsiapa mengaku bahwa dia mengetahuinya, maka dia pendusta. Pengetahuan tentang hal itu tidak diketahui oleh rasul yang paling utama dari kalangan malaikat dan manusia, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan Jibril.

28. Hari kiamat memiliki tanda-tanda, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,

فَهَلْ يَنظُرُونَ إِلَّا السَّاعَةَ أَن تَأْتِيَهُم بَغْتَةً فَقَدْ جَاء أَشْرَاطُهَا

“Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan hari kiamat (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya.” (Muhammad: 18)

Dan ulama telah membagi tanda-tanda kiamat menjadi tiga macam:

1. Yang telah berlalu.

2. Senantiada datang dengan bentuk yang baru.

3. Tidak datang kecuali tepat menjelang hari kiamat. Dan itu adalah tanda-tanda kiamat yang besar, seperti: turunnya Isa bin Maryam, Dajjal, Ya’juj dan Ma’juj, dan terbitnya matahari dari sebelah barat.

Nabi telah menyebutkan beberapa tanda hari kiamat, yaitu: (Budak wanita melahirkan tuannya), yakni: Seseorang wanita statusnya hamba sahaya, lalu wanita tersebut melahirkan anak perempuan, sampai anak tadi menjadi orang yang memiliki semisal ibunya. Ini merupakan ungkapan tentang cepat, banyak, dan tersebarnya harta di tengah-tengah manusia. Dan yang memperkuat hal itu adalah perumpamaan yang datang setelahnya, yaitu: “Engkau akan melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, telanjang lagi miskin, para penggembala kambing saling berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi. ”

29. Baiknya pengajaran Nabi, yang mana beliau bertanya kepada para shahabatnya, apakah mereka mengetahui orang yang bertanya tadi apa tidak, dalam rangka memberikan pengajaran kepada mereka melalui orang tersebut. Cara ini lebih mengena daripada beliau mengajarkan kepada mereka secara langsung (tanpa diawali dengan pertanyaan), karena jika beliau bertanya kepada mereka kemudian beliau memberitahukan kepada mereka setelah itu, maka yang demikian itu lebih mendorong untuk memahami dan meresapi apa yang beliau katakan.

30. Orang yang bertanya tentang ilmu dapat dianggap sebagai orang yang memberikan pengajaran. Telah lewat isyarat akan hal itu. Akan tetapi, aku ingin menjelaskan bahwa seseorang seyogyanya bertanya apa-apa yang dibutuhkan oleh orang-orang, kendati ia mengetahuinya, dalam rangka mendapatkan pahala pengajaran. Dan Allahlah Dzat Pemberi Taufik. (SELESAI)

(Dinukil untuk Blog Ulama Sunnah dari Syarah Arbain An Nawawiyah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, penerjemah Abu Abdillah Salim, Penerbit Pustaka Ar Rayyan. Silakan dicopy dengan mencantumkan URL http: //ulamasunnah. wordpress.com)

Penjelasan Hadits Arbain Kedua: Penjelasan tentang Islam, Iman, dan Ihsan (4)

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

(Lanjutan Faedah dari Bagian Ketiga)

20. Keimanan kepada Allah adalah rukun iman yang paling penting dan paling besar. Oleh karena itu, Nabi menyebutkannya lebih dahulu. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Engkau beriman kepada Allah.” Keimanan kepada Allah mencakup keimanan kepada wujud-wujud-Nya, uluhiyah, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya. Jadi, keimanan kepada Allah tidak hanya beriman kepada wujud-Nya semata. Akan tetapi, harus mencakup keimanan kepada empat perkara ini, yakni beriman kepada wujud, rububiyah, uluhiyah, nama, dan sifat-sifat-Nya.

21. Menetapkan adanya malaikat. Malaikat adalah makhluk ghaib yang telah Allah sifati dengan banyak sifat dalam Al Qur’an dan telah disifati oleh Nabi dalam hadits-haditsnya. Cara beriman kepada mereka adalah dengan mengimani nama-nama mereka yang telah kita ketahui. Kita pun mengimani sifat-sifat yang mereka miliki sebatas apa yang telah kita ketahui. Di antaranya, Nabi pernah melihat malaikat Jibril –dalam bentuk aslinya- memiliki enam ratus sayap yang menutupi ufuk. Kewajiban kita berkenaan dengan malaikat adalah kita mempercayai dan mencintai mereka, karena mereka adalah para hamba Allah yang senantiasa melaksanakan perintah-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman,

وَمَنْ عِندَهُ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلَا يَسْتَحْسِرُونَ

يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ

“…dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tidak mempunyai rasa angkuh untuk beribadah kepada-Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (Al Anbiyaa’: 19-20)

22. Wajib beriman dengan kitab-kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman,

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al kitab dan neraca (keadilan)…” (Al Hadiid: 25)

Kita beriman kepada semua kitab yang Allah turunkan kepada rasul-rasul-Nya, akan tetapi kita mengimaninya secara global dan mempercayai bahwa kitab-kitab itu adalah haq (benar). Adapun secara rinci, kitab-kitab terdahulu mengalami penyelewengan, perubahan, penggantian. Seseorang tidak mungkin dapat menilai mana yang haq dan mana yang bathil. Atas dasar itu, kita katakan, “Kita beriman kepada yang telah Allah turunkan tersebut secara global. Adapun secara rinci, kita merasa khawatir itu adalah di antara hal-hal yang telah diselewengkan dan diubah. Ini dalam hal yang berkaitan dengan keimanan dengan kitab-kitab tersebut. Adapun yang berkaitan dengan pengamalannya, maka yang diamalkan hanyalah apa-apa yang diturunkan kepada Muhammad semata. Adapun yang selainnya telah dihapus masa berlakunya dengan datangnya syari’at ini. ”

23. Wajibnya beriman kepada rasul, kita beriman bahwa semua rasul yang diutus oleh Allah adalah benar, membawa kebenaran, benar (jujur) dalam berita yang dikhabarkan, dan benar pula dengan apa-apa yang telah diperintahkan. Dan beriman kepada mereka secara global, yakni pada para rasul yang tidak kita ketahui, dan secara rinci terhadap mereka yang telah kita ketahui. Allah subhanahu wata’ala berfirman,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ مِنْهُم مَّن قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُم مَّن لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ

“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa rasul sebelummu, di antara mereka ada yanh Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. ”(Al Ghafir: 78)

Rasul yang telah diceritakan kepada kita dan kita telah mengetahuinya, maka kita mengimani mereka orang-perseorangan. Sedangkan para nabi yang belum diceritakan kepada kita dan kita tidak mengetahuinya, maka kita mengimani secara global. Rasul yang pertama adalah Nabi Nuh ‘alaihissalam, sedang rasul yang terakhir adalah Nabi Muhammad. Di antara mereka terdapat lima rasul yang digelari ulul azmi yang nama mereka telah Allah sebutkan secara bersamaan dalam dua ayat dalam Al Qur’an. Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam surat Al Ahzab,

وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan darimu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam.” (Al Ahzab: 7)

Dan Dia berfirman dalam surat Asy Syuura,

شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ

“Dia telah mensyari’atkan bagimu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu, ‘Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya. . . ’ “(Asy Syuura: 13)

(bersambung ke bagian lima)

(Dinukil untuk Blog Ulama Sunnah dari Syarah Arbain An Nawawiyah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, penerjemah Abu Abdillah Salim, Penerbit Pustaka Ar Rayyan. Silakan dicopy dengan mencantumkan URL http: //ulamasunnah. wordpress.com

Penjelasan Hadits Arbain Kedua: Penjelasan tentang Islam, Iman, dan Ihsan (3)

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

(Lanjutan Faedah dari Bagian Kedua)

13. Keislaman seorang hamba tidak sempurna hingga menunaikan zakat. Zakat adalah harta yang diwajibkan berupa harta-harta yang dikenai zakat, mengeluarkan dan memberikannya kepada orang yang berhak menerimanya. Allah telah menjelaskan ini ke dalam surat At Taubah dalam firman Allah subhanahu wata’ala,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”(At Taubah: 60).

14. Adapun puasa ramadhan, ialah beribadah kepada Allah dengan menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan, dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Ramadhan adalah bulan antara bulan Sya’ban dan bulan Syawal. Adapun berhaji ke Baitullah, ialah menuju Mekkah untuk melaksanakan manasik haji, dan disyaratkan adanya kemampuan, karena secara umum di dalam pelaksanaannya ditemui berbagai hal yang memberatkan dan menyulitkan. Tidak hanya pada ibadah haji semata, ternyata seluruh kewajiban disyari’atkan adanya faktor kemampuan. Berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertaqwalah kepada Allah menurut kemampuan.” (At Taghaabun: 16)

15. Dan di antara faedah yang telah dibakukan oleh para ulama adalah, “Tidak ada kewajiban bersama ketidakmampuan, dan tidak ada keharaman bersama keadaan darurat.”

16. Utusan dari kalangan malaikat (Jibril) mensifati utusan dari kalangan manusia (Rasulullah) dengan sifat benar (jujur). Sungguh Jibril telah berlaku benar pada apa yang telah ia sifatkan kepada Rasulullah dengan sifat benar (jujur), karena memang Nabi adalah makhluk yang paling benar.

17. Kecerdasan para shahabat yang mana mereka merasa keheranan. Bagaimana mungkin seorang yang bertanya menilai benar orang yang ditanya. Pada umumnya, orang yang bertanya tidak mengetahui. Sedangkan orang yang tidak mengetahui, tidak mungkin menghukumi ucapan seseorang bahwa dia benar atau dusta. Akan tetapi keheranan itu hilang setelah Nabi mengatakan, “Dia adalah Jibril, ia datang kepada kalian untuk mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian. ”

18. Keimanan mencakup enam perkara: Beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan takdir yang baik dan yang buruk.

19. Pembedaan antara islam dan iman. Hal ini ketika kedua kata itu disebutkan secara bersama-sama. Islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan (amalan zhahir), sedangkan iman dengan amalan-amalan hati (batin). Akan tetapi, ketika salah satu kata itu disebutkan begitu saja (tanpa diiringi dengan yang lainnya), maka masing-masing dari kata itu mencakup kata yang lainnya, mencakup Islam dan Iman. Adapun jika keduanya disebutkan secara bersamaan, maka masing-masing dari keduanya ditafsirkan dengan makna yang telah ditunjukkan oleh hadits ini. Firman Allah subhanahu wata’ala,

وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا

“Dan telah Aku ridhai Islam menjadi agamamu.” (Al Maa’idah: 3)

Dan firman-Nya,

دِينًا الإِسْلاَمِ غَيْرَ يَبْتَغِ وَمَن

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam.” (Ali Imran: 85)

Firman Allah subhanahu wata’ala,

الْمُؤْمِنِينَ مَعَ اللّهَ وَأَنَّ

“…Dan bahwasanya Allah bersama orang-orang yang beriman.” (Al Anfaal: 19)

Dan ayat-ayat serupa yang mencakup iman dan islam. Demikian pula dengan firman-Nya,

مُّؤْمِنَةٍ رَقَبَةٍ فَتَحْرِيرُ

“. . Serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin…”(An Nisaa’: 92)

(bersambung ke bagian empat)

(Dinukil untuk Blog Ulama Sunnah dari Syarah Arbain An Nawawiyah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, penerjemah Abu Abdillah Salim, Penerbit Pustaka Ar Rayyan. Silakan dicopy dengan mencantumkan URL http: //ulamasunnah. wordpress.com)

Penjelasan Hadits Arbain Kedua: Penjelasan tentang Islam, Iman, dan Ihsan (2)

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

(Lanjutan Faedah dari Bagian pertama)

6. Seseorang boleh bertanya tentang sesuatu yang telah diketahui dalam rangka memberikan pelajaran kepada orang yang belum mengetahui, karena Jibril telah mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut, berdasarkan ucapannya dalam hadits, “Engkau benar.” Akan tetapi jika si penanya bermaksud agar orang yang berada di sekitar orang yang menjawab tersebut dapat mengambil pelajaran, maka yang seperti itu dapat dianggap memberikan pelajaran kepada mereka.

7. Orang yang menjadi sebab dapat dihukumi sama dengan orang yang melakukan perbuatan tersebut secara langsung, jika perbuatan itu dilandasi oleh suatu sebab. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

“Dia adalah Jibril, dia datang kepada kalian untuk mengajarkan urusan agama kepada kalian.”

Padahal orang yang memberikan pengajaran secara langsung (kepada para shahabat) adalah Rasulullah. Akan tetapi, karena Jibril dengan pertanyaan yang ia lontarkan itu, maka Rasulullah menganggapnya sebagai orang yang memberikan pengajaran (kepada mereka).

8. Penjelasan bahwa rukun Islam ada lima, karena Nabi menjawab dengan jawaban seperti beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada Ilah yang hak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan ramadhan, dan engkau berhaji ke Baitullah, jika engkau mampu untuk melakukannya.”

9. Seseorang harus mengikrarkan syahadat dengan lisannya dan meyakini dengan hatinya, bahwa tiada Ilah yang hak diibadahi dengan benar kecuali Allah. Makna “Ilah” adalah tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah. Engkau bersaksi dengan lisanmu dan meyakini dengan hatimu bahwa tidak ada sesembahan apapun yang hak –dari segenap makhluk, baik dari kalangan nabi, wali, orang-orang shaleh, pepohonan, bebatuan, dan lain-lainnya, kecuali Allah. Dan segala sesuatu yang diibadahi selain Allah adalah bathil. Berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala,

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, dialah (Rabb) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar. (Al Hajj: 62).

10. Agama ini tidak sempurna, kecuali dengan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Beliau adalah Muhammad bin Abdillah Al Qurasyi (dari suku Quraisy) Al Hasyimi (dari kalangan Bani Hasyim). Barangsiapa yang ingin mengetahui secara lengkap ikhwal rasul yang mulia ini, hendaknya ia membaca Al Qur’an, hadits, dan kitab-kitab tarikh (buku sejarah Islam).

11. Rasulullah telah menyatukan syahadat “Laa ilaaha illallah” dan “Muhammad Rasulullah” ke dalam satu rukun. Yang demikian itu karena ibadah tidaklah sempurna kecuali dengan dua perkara ini, yakni: Ikhlas untuk Allah (memurnikan peribadahan hanya untuk Allah semata). Inilah yang dikandung oleh syahadat bahwa tiada ilah yang hak diibadahi dengan benar kecuali Allah. Dan mutabaah, dan inilah yang dikandung dari syahadat bahwa Muhammad utusan Allah. Oleh karena itu, Nabi menyatukan kedua syahadat ini ke dalam satu rukun. Dalam hadits ‘Umar, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Islam dibangun di atas lima perkara; Persaksian bahwa tiada ilah yang diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, mendirikan shalat……” (Shahih dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam (Al Iman/8/Fath), Muslim di dalam (Al Iman/16/Abdul Baqi).

dan seterusnya.

12. Keislaman seorang hamba tidak sempurna hingga ia mendirikan shalat. Mendirikan shalat yaitu dengan mengerjakan shalat tersebut dengan istiqamah, sesuai dengan tuntunan yang telah dibawa oleh syari’at. Mendirikan shalat ini ada yang dikerjakan sekedar yang wajib-wajibnya saja, dan ada yang dikerjakan secara sempurna. Yang wajib-wajib dalam shalat adalah dengan melakukan batas minimal dari hal-hal yang telah diwajibkan dalam shalat tersebut. Sedangkan pelaksanaan shalat yang sempurna yaitu dengan melaksanakan berbagai hal yang dapat menyempurnakan pelaksanaan shalat tersebut sesuai dengan apa yang telah dikenal dalam Al Qur’an, hadits-hadits Nabi, dan ucapan-ucapan para ulama. (bersambung ke bagian tiga)

(Dinukil untuk Blog Ulama Sunnah dari Syarah Arbain An Nawawiyah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, penerjemah Abu Abdillah Salim, Penerbit Pustaka Ar Rayyan. Silakan dicopy dengan mencantumkan URL http: //ulamasunnah. wordpress.com

Penjelasan Hadits Arbain Kedua: Penjelasan tentang Islam, Iman, dan Ihsan (1)

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ .

[رواه مسلم]

Dari ‘Umar radhiyallahu’anhu –juga- dia berkata: Pada suatu hari, ketika kami berada di sisi Rasulullah, tiba-tiba muncul di hadapan kami, seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan berambut hitam legam, tidak terlihat padanya bekas-bekas perjalanan jauh, dan tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya.

Hingga ia duduk di hadapan Nabi, lalu menyandarkan kedua lututnya ke lutut Nabi dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya. Lalu ia berkata, “Ya Muhammad, khabarkan kepadaku tentang Islam?”

Maka Rasulullah bersabda,

”Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada Ilah yang diibadahi dengan hak, kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan ramadhan, dan engkau berhaji ke Baitullah, jika engkau mampu melakukannya.”

Orang itu berkata, ”Engkau benar.”

Dia (rawi) berkata, “Maka kami pun terheran-heran dengannya. Ia bertanya kepada Rasulullah, namun ia sendiri yang membenarkannya.

”Lalu orang itu bertanya lagi, “Khabarkan kepadaku tentang iman?”

Beliau menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.”

Dia berkata, “Engkau benar.”

Lalu ia berkata lagi, “Khabarkanlah kepadaku tentang ihsan?”

Rasulullah bersabda, “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”

Dia berkata, “Khabarkan kepadaku tentang hari kiamat?”

Beliau bersabda, “Orang yang ditanya tidak lebih mengetahui dari yang bertanya.”

Dia berkata, “Kalau begitu, khabarkanlah kepadaku tentang tanda-tandanya?”

Beliau bersabda, “Budak wanita akan melahirkan tuannya, dan engkau akan melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, telanjang lagi miskin, para penggembala kambing saling berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi.”

Dia berkata, “Kemudian orang itu pergi. Lalu aku tidak bertemu (dengan Rasullah) beberapa waktu.

Kemudian Rasulullah berkata kepadaku, “Ya ‘Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya tadi?”

Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.”

Rasulullah bersabda, “Dia adalah Jibril, dia datang kepada kalian untuk mengajarkan urusan agama kepada kalian.” (HR. Muslim)

Penjelasan:

Dari hadits ini dapat dipetik banyak faedah, di antaranya adalah:

1. Di antara perilaku Nabi adalah beliau bermajelis dengan para shahabatnya. Perilaku ini menunjukkan bagaimana baiknya budi pekerti beliau. Seseorang manusia sepatutnya bergaul dengan sesama, dan bermajelis (dengan mereka) dan tidak mengucilkan diri dari mereka.

2. Bergaul dengan sesama lebih baik daripada mengisolasi selama ia tidak mengkhawatirkan agamanya. Jika dia mengkhawatirkan agamanya, maka mengisolasi diri lebih baik, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

“Akan terjadi sebentar lagi, di mana sebaik-baik harta seseorang adalah kambing yang diikutinya, hingga puncak bukit dan tempat yang dicurahi hujan.” (Shahih dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam [Al Iman/19/Fath])

3. Para malaikat bisa menjelma di hadapan manusia dalam sosok manusia, karena Jibril muncul di hadapan para shahabat dengan gambaran yang telah disebutkan dalam hadits ini (Lelaki yang berambut hitam legam, berpakaian sangat putih dan, tidak terlihat padanya bekas-bekas perjalanan jauh, dan tidak ada seorangpun dari shahabat yang mengenalnya).

4. Baiknya etika seorang yang belajar di hadapan gurunya, di mana Jibril duduk di hadapan Nabi dengan cara duduk yang menunjukkan adab sopan santun, memasang telinganya, siap untuk menerima semua pelajaran yang akan disampaikan kepadanya, lalu dia menyandarkan kedua lututnya pada kedua lutut Nabi, dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya.

5. Bolehnya memanggil Nabi dengan namanya, berdasarkan ucapan Jibril, “Wahai Muhammad.” Ini mengandung kemungkinan hal itu terucapkan sebelum adanya larangan, yakni sebelum adanya larangan dari Allah agar tidak memanggil seperti itu, dalam firman-Nya:

لَا تَجْعَلُوا دُعَاء الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاء بَعْضِكُم بَعْضًا

“Janganlah kamu jadikan panggilan rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian lainnya.” (An Nuur: 63)

Menurut salah satu penafsiran dari ayat ini, atau bisa juga mengandung kemungkinan bahwa panggilan seperti itu sudah menjadi kebiasaan orang arab badui yang datang kepada rasul, sehingga mereka memanggil beliau dengan namanya, “Ya Muhammad. ”dan inilah yang lebih dekat kebenaran. Karena kemungkinan yang pertama butuh pada (pembuktian) sejarah. (bersambung ke bagian dua)

(Dinukil untuk Blog Ulama Sunnah dari Syarah Arbain An Nawawiyah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, penerjemah Abu Abdillah Salim, Penerbit Pustaka Ar Rayyan. Silakan dicopy dengan mencantumkan URL http: //ulamasunnah. wordpress.com)

Penjelasan Hadits Arbain Nawawi Pertama: Amal Perbuatan itu Tergantung Niatnya

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .

[رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafsh ‘Umar bin Al Khaththab, dia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan atau mendapatkan wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia inginkan itu.

Hadits ini diriwayatkan oleh dua orang Imam ahli hadits; yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abul Husein Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairy An Naisaburi dalam kitab shahih keduanya, yang kedua kitab itu merupakan kitab susunan yang paling shahih.

Penjelasan:

Hadits ini merupakan prinsip dasar yang begitu agung dalam permasalahan amalan-amalan hati. Karena niat termasuk amalan hati. Para ulama mengatakan hadits ini adalah separuh ibadah, karena ia merupakan timbangan amalan-amalan yang batin. Sedangkan hadits Aisyah yang berbunyi,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami perkara yang tidak ada asalnya, maka hal itu akan tertolak.” (Shahih: dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam [Ash Shulh/2697/Fath], Muslim di dalam [Al Aqdhiyah/1718/Abdul Baqi]).

Dalam lafazh lain,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami, maka amalan itu tertolak.” (Shahih: dikeluarkan oleh Muslim di dalam [Al Aqdhiyah/1718/Abdul Baqi]. Al Bukhari secara ta’liq [13/hal 329/fath] cetakan As Salafiyyah)

Hadits ini adalah separuh agama, karena hadits ini merupakan timbangan amalan yang dhahir (nampak). Jadi dapat dipetik faedah dari hadits, “Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dari niatnya.” Bahwa amalan apapun harus didasari niat, karena setiap orang yang berakal tidak mungkin melakukan suatu amalan tanpa niat, hingga sebagian ulama mengatakan, “Sekiranya Allah membebani suatu amalan kepada kita tanpa didasari oleh niat, tentunya hal itu merupakan suatu pembebanan yang tidak mampu untuk dilakukan. ”

Bercabang dari faedah ini adalah: Bantahan terhadap orang-orang yang terhinggapi penyakit was-was yang mengulang-ulang suatu amalan beberapa kali, hingga setan membisikkan kepada mereka, “Sesungguhnya kalian belum memasang niat.” Kami katakan kepada mereka (orang-orang was-was itu), “Tidak, tidak mungkin engkau melakukan suatu perbuatan tanpa didasari oleh niat. Janganlah kalian membebani diri-diri kalian dan tinggalkan perasaan was-was itu. ”

Di antara faedah dari hadits ini adalah: Bahwa seseorang diberi pahala, berdosa, atau terhalang (mendapatkan sesuatu) dengan sebab niatnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ”Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. ”

Di antara faedah dari hadits ini adalah: “Sesungguhnya amalan itu tergantung dari tujuannya.” Bisa jadi, suatu perkara –yang pada asalnya- mubah bisa menjadi amalan ketaatan jika seseorang meniatkannya sebagai amalan kebaikan. Misalnya, ia meniatkan makan dan minumnya untuk menambah kekuatan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, Nabi bersabda,

“Makan sahurlah, sesungguhnya pada makanan sahur itu terdapat berkah.” (Shahih: dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam [Ash Shaum/1923/Fath], Muslim di dalam [Ash Shiyam/1095/Abdul Baqi])

Faedah laim dari hadits ini adalah: Seorang pengajar sepatutnya memberikan perumpamaan yang dapat memperjelas suatu hukum. Nabi telah memberikan perumpamaan dalam hal ini dengan hijrah. Hijrah ialah berpindah dari negeri kesyirikan ke negeri Islam. Dan beliau pun menjelaskan bahwa hijrah adalah amalan yang bisa menjadi pahala ataupun keterhalangan (memperoleh pahala) bagi orang yang melakukannya. Seorang yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya diberi pahala dan akan sampai pada apa yang diinginkannya. Sedangkan orang yang berhijrah karena dunia yang ingin ia dapatkan atau wanita yang ingin ia nikahi, maka ia terhalang mendapatkan pahala ini.

Hadits ini selain masuk dalam pembahasan ibadah, masuk pula dalam pembahasan muamalah, pernikahan, dan dalam pembahasan fiqih lainnya. (US)

(Dinukil untuk Blog Ulama Sunnah dari Syarah Arbain An Nawawiyah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, penerjemah Abu Abdillah Salim, Penerbit Pustaka Ar Rayyan. Silakan dicopy dengan mencantumkan URL http: //ulamasunnah. wordpress. com)
(abu umar)

Minggu, 08 Agustus 2010

Tidak Boleh Berbuat Sesuatu yang Membahayakan

لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَا رَ
Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan

لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَا رَ
Asal Kaedah

Lafadz kaedah ini terambil dari sabda Rosululloh yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2/784, Baihaqi 10/133, Ahmad 1/313, Daruquthni 4/228, Hakim 2/57 dan beliau mengatakan shohih menurut syarat Imam Bukhori Muslim dan disepakati oleh Imam Dzahabi, Malik 2/745, Abu Dawud dalam Marosil hal : 44 dan lainnya dengan sanad hasan dari jalan beberapa sahabat Rosululloh diantaranya adalah Ubadah bin Shomith, Ibnu Abbas, Abu Sa’id al Khudri, Abu Huroiroh, Jabir bin Abdillah, Aisyah, Tsa’labah bin Abi Malik al Qurodli dan Abu Lubabah Rodliyallohu anhum ajma’in. (Lihat Takhrij hadits ini secara lengkap dalam Jami’ Ulum wal Hikam oleh Imam Ibnu Rojab hadits no : 32)

Dalam sebagian kitab yang membahas kaedah fiqhiyyah, kaedah ini diungkapkan dengan lafadl :

الضَرَرُ يُزَالُ

“Sesuatu yang membahayakan itu harus dihilangkan.”

Namun ungkapan kaedah ini dengan lafadl diatas lebih baik, karena beberapa sebab yang sudah saya katakan pada kaedah pertama, yang intinya adalah :

1. Bahwa lafadl
“لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَا رَ“

adalah nash Rosululloh, dan bagaimanapun juga nash dari Rosululloh lebih diutamakan daripada lainnya.
2. Kaedah diatas mempunyai cakupan yang lebih luas, yaitu menghilangkan kemadlorotan yang berhubungan dengan diri sendiri maupun orang lain, baik dia yang memulai maupun saat membalas kejahatan orang lain.
3. Kekuatan dalil kaedah fiqhiyah yang terambil langsung dari nash Rosululloh jauh diatas kekuatan sebuah kaedah fiqhiyyah yang bukan diambil langsung dari sabda beliau. (Lihat Al Wajiz fi Idlohi qowaid Fiqhil Kulliyah oleh DR. Muhamad Shidqi al Ghozzi hal : 251)

Makna kaedah

Para ulama berbeda pandangan saat menerangkan sabda Rosululloh yang menjadi sebuah kaedah fiqhiyyah diatas. Namun apapun perbedaan itu, semuanya tetap menuju pada sebuah tujuan yang sama yaitu bahwasannya sesuatu yang membahayakan itu harus dihilangkan secara hukum syar’i. (Lihat Bada’i Shona’i oleh Imam Al Kasani 5/136)

Cukuplah disini saya paparkan sebagian perkataan para ulama tentang hadits ini, yang insya Alloh bisa mewakili yang lainnya :

Imam Ibnu Abdil Bar berkata :

“Adapun sabda Rosululloh :
“لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ“

ada yang mengatakan bahwa keduanya adalah dua lafadl tapi mengandung arti yang sama, Rosululloh mengungkapkan keduanya itu hanya untuk semakin menguatkan pembicaraan”.

Ibnu Habib berkata :

“Lafadl “ضَرَرَ” menurut para pakar bahasa arab adalah nama dari sesuatu yang membahayakan, sedangkan “ضِرَارَ ” adalah perbuatan yang membahayakan itu sendiri.” Beliau juga mengatakan bahwa makna ضَرَرَ adalah janganlah seseorang itu berbuat sesuatu yang dia tidak melakukannya untuk dirinya sendiri, sedangkan arti ضِرَارَ adalah janganlah seseorang itu membahayakan orang lain.”

Inilah yang dinukil oleh Ibnu Habib.

Al Khusyani berkata :

“ضَرَرَ adalah sesuatu yang membayakan yang engkau bisa memetik manfaatnya tapi bisa membahayakan orang lain, sedangkan adl dliror adalah perbuatan yang engkau sama sekali tidak bisa memetik manfaatnya namun bisa membahayakan orang lain”.

Sedangkan para ulama’ lainnya juga berkata :

“Lafadl :
لا ضرر و لا ضرار

mirip dengan lafadl : القتل yang artinya membunuh dan lafadl القتال yang berarti memerangi, maksudnya adalah bahwasanya makna adl dloror adalah berbuat sesuatu yang membahayakan orang lain yang mana dia tidak berbuat yang membahayakan dirinya, sedangkan makna adl dliror adalah berbuat sesuatu yang membahayakan orang lain yang mana dia berbuat jahat kepadanya kalau hal itu tidak diilakukan untuk membela sebuah kebenaran.”

(Lihat At Tamhid 20/158)

Syaikh Ahmad Az Zarqo berkata :

“Para ulama’ berselisih tentang perbedaan antara kedua lafadl ini menjadi banyak pendapat, namun telah disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar al Haitsami dalam syarah Arba’in Nawawi bahwa yang paling bagus adalah bahwa makna لا ضرر adalah larangan berbuat yang membahayakan orang lain secara muthlak, sedangkan makna لا ضرار adalah jangan berbuat sesuatu yang membahayakan orang lain meskipun untuk membalas perbuatan jahatnya.”

( Lihat Syarah Qowa’id Fiqhiyyah hal : 140)

Hadits ini menunjukkan bahwa semua bentuk perbuatan yang membahayakan harus dihilangkan dan tidak boleh di kerjakan, karena Rosululloh mengungkapkannya dengan bentuk penafian, yang mencakup semua bentuk perbuatan yang membahayakan. (Lihat Al Wajiz hal : 252)

Al Munawi berkata :

“Hadits ini mencakup semua bentuk perbuatan yang membahayakan, karena kalimat dengan bentuk nakiroh kalau jatuh setelah lafadl penafian menunjukkan keumuman.”

(Lihat Faidlul Qodir 6/431)

Semua keterangan ini adalah tertuju pada larangan untuk berbuat sesuatu yang membahayakan orang lain kalau tanpa ada sebab yang membenarkan perbuatan tersebut, namun kalau ada sebab yang membenarkannya secara syar’i, maka itu diperbolehkan. Misalnya memotong tangan seorang yang mencuri, merajam orang yang berzina muhson dan lainnya, karena meskipun semua ini ada sisi kemadlorotannya, namun hal itu diperbolehkan karena dilakukan dengan cara yang benar, dan madlorot yang ditimbulkannya tidak sebanding dengan manfaat yang dihasilkannya.

Dan kalau dicermati, bahwa perbuatan yang membahayakan orang lain tanpa ada sebab yang membolehkannya secara syar’i itu ada dua kemungkinan, yaitu :

1. Perbuatan yang memang dilakukan dengan tujuan membahayakan orang lain dan sama sekali tidak bermanfaat bagi pelakunya kecuali hanya untuk membahayakan orang lain saja. Maka perbuatan ini jelas-jelas terlarang. Banyak sekali dalil yang menunjukkan akan hal ini.
2. Perbuatan yang membahayakan orang lain namun ada manfaatnya bagi pelaku, seperti kalau seseorang berbuat sesuatu dalam miliknya sendiri namun mengakibatkan bahaya bagi orang lain, maka hukumnya ada dua kemungkinan :
* Yang pertama : kalau hal itu dilakukan dengan cara yang tidak wajar, maka dia harus mengganti kerugian yang diderita oleh orang lain tersebut, seperti kalau dia membakar sampah miliknya ditanahnya sendiri pada saat terik matahari yang sangat menyengat dan angin sedang berhembus kencang, lalu tidak dia jaga menjalarnya api dan selanjutnya api tersebut membakar benda milik tetangganya maka dia wajib mengantinya.
* Yang kedua : Kalau hal itu dilakukan dengan cara yang wajar, maka para ulama’ berselisih pendapat akan boleh dan tidaknya. Namun yang rajih bahwa hal tersebut juga dilarang. seperti seseorang yang memelihara ayam ditengah-tengah perkampungan yang baunya sangat mengganggu masyarakat sekitar, membuat bangunan yang tinggi sehingga bisa melihat aurot tetangganya, mengunakan bahan peledak untuk mengambil batu di gunung kalau hal itu bisa merobohkan atau meretakkan bangunan rumah yang ada disekitarnya dan beberapa contoh yang semisalnya (Lihat Al Mughni oleh Imam Ibnu Qudamah 7/52, Jami’ lum wal hikam dengan sedikit perubahan dan tambahan)

Kedudukan kaedah ini

Kaedah ini mempunyai kedudukan yang sangat agung dalam syariat agama islam, bahkan bukan berlebihan kalau saya katakan bahwasanya kaedah ini mencakup separoh agama islam, karena syariat islam dibangun atas dua hal yaitu mendatangkan kemaslahatan dan menghilangkan kemadlorotan, dan kaedah ini mencakup semua bentuk kemadlorotan harus dihilangkan (Lihat Syarah Kaukab Munir oleh Ibnu Najjar Al Hanbali 4/443)

Kaedah ini juga merupakan salah satu rukun syariat islam yang agung, yang mana kandunganya dikuatkan oleh banyak sekali dalil dari al Qur’an adan As sunnah. Kaedah ini merupakan pondasi untuk mencegah perbuatan yang membahayakan, juga pondasi untuk mengganti kerugian perbuatan yang membahayakan tersebut baik secara perdata maupun pidana, kaedah ini merupakan dasar bagi para fuqoha’ dalam menentukan berbagai permasalahan yang berhubungan dengan banyak kejadian. (Lihat Al Madkhol Al Fiqh al ‘Am oleh Az Zarqo 2/977)
Dalil-dalil Kaedah

Banyak sekali dalil yang menguatkan kandungan dari kaedah ini, selain hadits diatas yang merupakan pokok kaedah ini, yang intinya adalah tentang menghilangkan sesuatu yang membahayakan diri dan orang lain dengan cara apapun, diantaranya adalah :

1. Firman Alloh tentang larangan wasiat yang membahayakan :

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ

“Setelah ditunaikan wasiat yang dibuat olehnya atau setelah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madhorot kepada ahli waris.”

(QS. An An Nisa’ : 12)

2. Firman Alloh tetang larangan ruju’ kepada istri untuk tujuan membahayakannya :

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ

“Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati masa iddahnya, maka rujuklah kepada mereka dengan cara yang bagus atau ceraikanlah dengan cara yang baik pula, janganlah kamu rujuk pada mereka untuk memberi kemudhorotan, karena dengan demikian kamu telah berbuat yang menganiaya mereka. Barang siapa yang berbuat demikian maka berarti dia telah berbuat dholim kepada dirinya sendiri.”

(QS. Al Baqoroh : 231)

3. Firman Alloh tentang masalah menyusui anak :

لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ

“Janganlah seorang ibu mendapatkan kemudhorotan disebabkan oleh anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya.”

(QS. Al Baqoroh : 233)

4. Firman Alloh Ta’ala :

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ

“Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.”

(QS. Ath Tholaq : 6)

5. Firman Alloh dalam hadits Qudsi :

يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا

“Wahai hambaKu, sesungguhnya Aku mengharamkan kedholiman atas diriKu, maka janganlah kalian saling mendholimi.”

(HR. Muslim 4/1994)

dan masih banyak lagi dalil lainya.
Penerapan kaedah

Kayaknya tidak mungkin untuk menyebutkan semua penerapan kaedah ini, namun kita isyaratkan pada sebagiannya saja, adapun yang lainnya silahkan untuk di qiaskan sendiri dengan yang sudah ada.

Diantara penerapan kaedah ini, ada yang terambil dari atsar para sahabat ataupun yang ditegaskan oleh para ulama’. Diantaranya adalah :

1. Barang siapa yang barangnya dirusak oleh orang lain, maka dia tidak boleh merusak barang milik orang lain tersebut, karena itu akan memperluas kemadhorotan tanpa ada faedah yang berarti, namun cukup dengan meminta ganti rugi.
2. Seandainya ada seseorang yang menyewa tanah orang lain untuk ditanami padi atau tanaman lainnya, lalu habis masa sewa padahal padi masih belum waktunya panen, maka tanah itu masih berada dalam genggaman yang menyewa sampai masa panen dengan membayar sewa tanah tambahan sesuai adat yang berlaku di masyarakat, itu demi menghilangkan kemadhorotan kalau tanaman harus di panen sebelum waktunya.
3. Haram merokok, karena itu akan membahayakan diri pelaku dan orang yang ada disekitarnya.
4. Boleh bagi pemerintah untuk melarang para pedagang dari mengimport barang dari luar negeri kalau hal itu akan membahayakan perkonomian dalam negeri, begitu pula sebaliknya boleh bagi pemerintah untuk melarang eksport barang keluar negri kalau barang tersebut sangat terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan penduduk negeri tersebut.
5. Dilarang menimbun makanan atau benda lain yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena itu akan membahayakan mereka.
6. Kalau ada seseorang yang pesan kepada tukang kayu untuk dibuatkan lemari, maka dia wajib untuk menerimanya kalau si tukang telah membuatkan sesuai dengan kriteria yang disepakati, karena kalau tidak maka akan memadhorotkan tukang kayu tersebut.

Cabang-cabang kaedah لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَا رَ

Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan

Ada beberapa kaedah yang merupakan cabang dari kaedah besar ini. Diantaranya adalah :

Kaedah pertama :
الضَرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ

(Sesuatu yang membahayakan harus diantisipasi semampunya)

Makna kaedah

Bahwa secara hukum syar’i, sesuatu yang membahayakan itu harus diantisipasi semampunya jangan sampai terjadi, kalau hal itu bisa dilakukan dengan tanpa menimbulkan bahaya lainnya, maka itulah yang sebenarnya harus dilakukan. Namun jika tidak memungkinkan, maka dilakukan semampunya meskipun menimbulkan bahaya yang lebih kecil.

Kaedah ini memberikan sebuah faedah untuk menggunakan segala cara yang memungkinkan demi sebuah tindakan preventif atau antisipasi jangan sampai ada sebuah bahaya yang akan datang, sebagaimana ungkapan yang masyhur “menjaga itu lebih baik daripada mengobati”. Dan untuk melakukan hal ini maka dengan batas kemampuan yang ada.

Dalil kaedah :

Diantara yang mendasari kaedah ini adalah firman Alloh :

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآَخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya.”

(QS. An Anfal : 60)

Sisi pengambilan dalil dari ayat ini bahwa Alloh memerintahkan kaum muslimin untuk mempersiapkan kekuatan diri untuk mencegah bahaya yang akan datang dari musuh. Hal itu untuk menakut nakuti mereka, sehingga mereka tidak akan menyerang kaum muslimin, dan seandainya mereka menyerang, maka kaum muslimin sudah punya persiapan diri.

Contoh penerapan kaedah :

* Disyariatkan jihad untuk menolak bahaya yang datang dari musuh islam
* Adanya syariat hukuman bagi para pelaku tindakan kriminal untuk menjaga jangan sampai orang dengan mudah berbuat kejahatan, karena kalau seseorang mengetahui bahwa kalau dia berbuat jahat akan mendapatkan hukuman yang setimpal maka itu kan menyurutkan niatnya.
* Boleh untuk menolak transaksi dari seorang yang safih (orang tidak mengerti mengatur keuangan dengan baik) juga dari seorang yang muflis (orang bangkrut dan mempunyai banyak hutang) untuk menahan bahaya yang akan muncul pada hartanya safih maupun orang yang menghutangi muflis tersebut.

Kaedah kedua :
الضَرَرُ يُزَالُ

(Sesuatu yang membahayakan itu harus dihilangkan)

Makna kaedah :

Makna kaedah ini hampir mirip dengan kaedah pokok, yaitu setiap yang membahayakan itu harus atau boleh dihilangkan.

Contoh penerapan kaedah :

* Apabila ada seseorang yang mengalirkan air bekas mandi maupun cuci dari rumahnya ke jalan sehingga mengotori dan membuat banjirnya jalanan dan mengganggu orang yang lewat dijalan tersebut, maka pemilik rumah tersebut harus membuntunya atau mengalirkan ke arah lainnya.
* Jika ada seseorang yang membuat bangunan sampai ke arah jalan umum sehingga mengganggu orang atau kendaraan yang lewat, maka harus di robohkan bangunan yang mengganggu tersebut
* Jika ada pohon milik seseorang yang tinggi dan besar sehingga dahannya mengganggu tetangga, maka harus dipoting dahan tersebut.

Kaedah ketiga :
الضَرَرُ لَا يُزَالُ بِمِثْلِهِ

(Sesuatu yang membahayakan itu tidak boleh dihilangkan dengan sesuatu yang membahayakan juga.)

Makna kaedah :

Bahwa kewajiban untuk menghilangkan sesuatu yang membahayakan itu harus jangan sampai menimbulkan kemadhorotan lain yang semisalnya, jadi syarat menghilangkan kemadhorotan adalah dengan sesuatu yang tanpa adanya kemadhorotan yang lain atau dengan kemadhorotan yang lebih kecil.

Jadi sebenarnya kaedah ini adalah pengkhususan dari kaedah yang sebelumnya.

Contoh penerapan kaedah :

* Kalau ada seseorang yang dipaksa membunuh orang lain, jika tidak membunuh maka dia akan dibunuh, maka tidak boleh dia membunuh, karena madhorot yang akan ditimbulkannya sepadan dengan madhorot yang sekarang ada.
* Kalau ada seseorang yang merusak benda milik orang lain, maka tidak boleh bagi yang dirusak untuk membalas merusak merusak benda orang yang merusak tadi. Tapi dia berhak untuk meminta ganti rugi.

Kaedah keempat :
إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا

(Apabila berbenturan antara dua hal yang membahayakan, maka harus dihilangkan madhorot yang paling besar meskipun harus mengerjakan madhorot yang lebih kecil)

Makna kaedah :

Kalau sebuah perkara itu dilakukan ataupun tidak dilakukan akan menimbulkan kemadhorotan, maka harus ditimbang antara madhorot yang besar dengan yang kecil, dan boleh mengerjakan madhorot yang kecil demi menghilangkan madhorot yang besar.

Dalil kaedah :

Kaedah ini didasari oleh banyak dalil, diantaranya :

Dalil al Qur’an

Kisah Nabi Musa dengan Khidr. Alloh berfirman :

فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا (71) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (72) قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا (73) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا (74) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (75) قَالَ إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا فَلَا تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي عُذْرًا (76) فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا (77) قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (78) أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا (79) وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا (80) فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا

Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidhr) berkata: “Bukankah aku telah berkata: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku” Musa berkata: “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar”. Khidhr berkata: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?” Musa berkata: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan udzur padaku”. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”. Khidhr berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).

(QS. Al Kahfi : 71-81)

Sisi pengambilan dalil dari kisah ini, bahwa tatkala benturan antara dua mafsadah, yaitu merusak perahu dengan mafsadah akan dirampas oleh raja yang dholim, maka nab Khidhr memilih merusak, karena mafsadahnya lebih kecil. Begitu juga dengan perbuatan beliau membunuh anak kecil yang dengan wahyu dari Alloh beliau mengetahui bahwa dia akan memaksa orang tuanya menjadi kafir, maka beliau membunuhnya karena pembunuhan anak kecil itu lebih kecil mafsadahnya dibandingkan kekufuran, karena orang tua mereka masih mungkin mendapatkan anak lainnya.

Dalil as Sunnah :

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم قَالَ لَهَا « أَلَمْ تَرَىْ أَنَّ قَوْمَكِ لَمَّا بَنَوُا الْكَعْبَةَ اقْتَصَرُوا عَنْ قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ » . فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ تَرُدُّهَا عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ . قَالَ « لَوْلاَ حِدْثَانُ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَفَعَلْتُ

Dari Aisyah bahwasannya Rosululloh berkata kepadanya : “Tidakkah engkau mengetahui bahwa kaummu (Quraisy) tatkala membangun ka’bah kurang dari pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrohim ? maka saya berkata : “Ya Rosululloh, kenapa tidak engkau kembalikan kepada pondasinya Nabi Ibrohim ? maka Rosululloh menjawab : “Seandainya bukan karena kaummu masih baru keluar dari kekufuran niscaya akan aku lakukan.”

(HR. Bukhori Muslim)

Sisi pengambilan dalil dari hadits ini sangat jelas, yaitu tatkala benturan antara salahnya bangunan ka’bah yang tidak sesuai dengan pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrohim dengan mafsadah fitnah yang akan muncul seandainya Rosululloh membongkar ka’bah padahal orang-orang Quraisy masih baru masuk islam, maka beliau memilih mafsadah membiarkan ka’bah apa adanya karena mafsadahnya lebih kecil.

Dan masih banyak hadits-hadist yang menunjukkan atas hal ini.

Contoh penerapan kaedah :

* Seandainya orang yang sholat seandainya dia berdiri akan terbuka aurotnya, sedangkan kalau sambil duduk tidak terbuka, maka dia sholat sambil duduk, karena mafsadah terbuka aurot lebih besar dibandingkan mafsadah sholat sambil duduk.
* Apabila seorang wanita meninggal dunia dalam keadaan di perutnya ada janin yang masih hidup dan kalau dikeluarkan dengan bedah akan bisa menyelamatkan jiwanya, maka boleh membedah perut mayit demi keselamatan bayinya.

Kaedah kelima :
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ

(Menghilangkan kemadhorotan itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemashlahatan)

Makna kaedah :

Maksudnya adalah kalau berbenturan antara menghilangkan sebuah kemadhorotan dengan sesuatu yang membawa kemaslahatan maka di dahulukan menghilangkan kemadlorotan, kecuali kalau madhorot itu lebih kecil dibandingkan dengan mashlahat yang akan ditimbulkan.

Dalil kaedah :

Firman Alloh :

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.

(QS. Al An’am : 108)

sisi pengambilan dalil dari ayat ini bahwa memaki sesembahan orang kafir ada sebuah manfaat yaitu merendahkan agama dan sesembahan mereka, namun tatkala maslahat itu berdampak mereka akan mencela dan memaki Alloh, maka Alloh melarang mencela sesembahan mereka.

Timbangan maslahat dan mafsadah

Meskipun demikian, kaedah ini tidaklah berlaku secara mutlak, namun perlu untuk diperinci dengan melihat besar kecilnya maslahat dan mafsadah, yaitu :

1. Jika mafsadahnya lebih besar dibanding maslahatnya, maka menghindari mafsadah itu dikedepankan daripada meraih kemaslahatan tersebut.
2. Jika maslahatnya jauh lebih besar dibandingkan dengan mafsadah yang akan timbul, maka meraih maslahat itu lebih diutamakan daripada menghindari mafsadahnya.Oleh karena itu jihad berperang melawan orang kafir disyariatkan, karena meskipun ada mafsadahnya yaitu hilangnya harta, jiwa dan lainnya, namun maslahat menegakkan kalimat Alloh dimuka bumi jauh lebih utama dan lebih besar.
3. Apabila maslahat dan mafsadah seimbang, maka secara umum saat itu menolak mafsadah lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan yang ada

Contoh penerapan kaedah :

* Dilarang jual beli khomer, babi dan lainnya meskipun ada maslahat dari sisi ekonomi
* Jika bercampur antara daging yang halal dan yang haram dan tidak dapat dipisahkan antara keduanya, maka semuanya tidak boleh dimakan, karena menolak mafsadah makan daging haram lebih dikedepankan daripada maslahat daging yang halal.
* Larangan membuat jendela rumah kalau dengannya bisa melihta aurot tetangganya, meskipun itu ada maslahat baginya.

Thola’al Badru ‘Alaina … Senandung Penduduk Kota Madinah Saat Menyambut Kedatangan Rosululloh

A. Al Kisah

Konon diceritakan bahwa setelah Rosululloh dan Abu Bakr menempuh perjalanan panjang yang melelahkan, ditengah-tengah intaian kaum kuffar Quraisy, maka akhirnya Alloh menyelamatkan mereka hingga sampai ke Kota Madinah. Di sisi kisah yang lainnya para penduduk kota Madinah, dari kaum laki-laki, wanita dan anak-anak setiap harinya keluar rumah menuju pingiran kota untuk menunggu kedatangan beliau, kalau sampai sore hari belum ada tanda-tanda kedatangan beliau maka mereka pulang dengan perasaan kecewa. Sehingga suatu ketika dari jauh kelihatan ada debu yang berterbangan, semakin lama semakin dekat, mereka berharap-harap cemas siapakah gerangan yang datang tersebut ? Alangkah bahagianya mereka tatkala mengetahui bahwa yang datang adalah Rosululloh, manusia agung yang mereka tunggu-tunggu kedatangannya, lalu mereka semua menyenandungkan gubahan bait syair berikut ini :

من ثنيات الوداع O طلع البدر علينا
ما دعا لله داع O وجب الشكر علينا
جئت بالأمر المطاع O أيها المبعوث فينا

Telah muncul purnama kepada kita
Dari daerah Tsaniyatul Wada’
Wajiblah bagi kita untuk bersyukur
Selagi masih ada orang yang berdo’a kepada Alloh.
Wahai orang yang diutus kepada kami
Engkau telah datang dengan perkara yang ditaati

.
B. Kemasyhuran Kisah Ini

Saya rasa tidak ada seorangpun yang tidak mengenal kisah ini, karena hampir disemua kitab sejarah yang menceritakan tentang kedatangan Rosululloh ke kota Madinah dalam perjalanan hijroh agung beliau. Bahkan senandung bait syair ini sudah menjadi bahan nyanyian sebagian kaum muslimin, mereka menganggapnya sebagai sebuah nyanyain yang islami (?), karena bait syair ini dalam angapan mereka adalah untuk menyambut kedatangan Rosululloh saat perjalanan hijroh beliau. Wallohul Musta’an

Sampai-sampai beberapa kitab sejarah yang ditulis oleh para ulama’ sunnah pun menyebutkan kisah ini, diantaranya adalah yang disebutkan oleh Syaikh Shofiyyur Rohman Al Mubarokfuri dalam Ar Rohiqul Makhtum, beliau berkata pada bab : Masuk ke kota Madinah : “Saat itu adalah hari yang cemerlang dalam catatan sejarah, rumah-rumah dan gang-gang bergetar karena gema suara pujian kepada Alloh, lalu anak-anak wanita anshor dengan perasaan suka cita yang menggelora, mereka bernyanyi menyenandungkan ….(lalu beliau menyebutkan syair diatas).”
.
C.Derajat Kisah

Kisah ini lemah

Takhrij kisah ini : (1)

Diriwayatkan oleh Abul Hasan Al Khol’i dalam Al Fawa’id 2/59, Baihaqi dalam Dala’ilun Nubuwah 2/233 beliau berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Amr al Adib berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr al Isma’ili berkata : Saya medengar Abu Kholifah berkata : Saya mendengar Ibnu Aisyah berkata : Tatkala Rosululloh datang ke kota Madinah mana anak-anak dan wanita bersenandung …..”

Sanad hadits ini lemah karena Ibnu Aisyah yang beliau bernama Ubaidillah bin Muhammad bin Aisyah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al Mizzi dalam Tahdzibul Kamal no : 4262 : Ubaidilah bin Muhammad bin Hafsh bin Umar bin Musa bin Ubaidillah bin Ma’mar Al Qurosyi at Taimi, Abu Abdir Rohman Al Bashri. Dia lebih dikenal dengan nama Al ‘Aisyi dan Ibnu ‘Aisyah, karena dia adalah anak keturunan Aisyah binti Tholhah bin Ubaidillah.

Dia termasuk gurunya Imam Ahmad bin Hanbal dan termasuk orang yang mengambil hadits dan meriwayatkannya dari Tabiut tabi’in.

Jadi sanad ini terputus tiga tingkatan secara berurutan , yaitu sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in, dan hadits dengan sanad semacam inilah yang oleh para ulama’ hadits dinamakan dengan mu’dhol, sedangkan mu’dhol, adalah sebuah hadits yang lemah.

Berkata As Sakhowi dalam Fathul Mughits 1/185 : “Mu’dhol dalam istilah para ulama’ adalah : Hadits yang sanadnya terputus dua orang atau lebih secara berurutan.”

Dengan sebab inilah para ulama’ melemahkan kisah ini, meskipn sangat masyhur. Diantara mereka adalah Imam Al ‘Iroqi dalam takhrij ihya’ 2/244, Al Albani dalam Adh Dho’ifah no : 598, Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad 3/10, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari dan lainnya.

Sisi kelemahan lainnya :

Kisah ini pun lemah kalau kita tinjau dari sisi matannya yaitu : bahwa daerah Tsaniyatul wada’ adalah sebuah daerah yang berada di sebelah utara kota Madinah, sedangkan Makkah berada disebelah selatan Madinah. Dan orang Mekah yang akan menuju ke Madinah tidak akan pernah melewati daerah Tsaniyatul wada’. Inilah yang diisyaratkan oleh Imam Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad, beliau berkata :

“Sebagian perowi salah tatkala meriwayatkan kisah ini terjadi saat kedatangan beliau dari Mekkah ke Madinah. ini adalah sebuah kesalahan yang sangat nyata, karena daerah Tsaniyatul wada’ berada diarah Syam, daerah ini tidak akan pernah dilihat oleh orang yang datang dari Mekkah ke Madinah, dan tidak akan dilewati kecuali oleh orang yang berangkat dari Madinah menuju Syam.”

(Lihat Zadul Ma’ad 3/10)

D. Bersama al Ghozali dan kitab beliau Ihya’ Ulumuddin

Kisah ini digunakan dalil oleh Imam Al Ghozali dalam kitab tenar beliau Ihya’ ulumuddin 2/275 untuk menghalalkan nyanyian dan musik. Beliau berkata :

“Sisi dibolehkannya nyanyian adalah bahwa nyanyian adalah sesuatu yang bisa membangkitkan rasa senang dan gembira, maka semua yang boleh untuk bersenang senang dengannya maka boleh pula unytuk membangkitkan rasa senang dengan sesuatu tersebut. Dan yang menunjukkan akan bolehnya hal ini adalah riwayat yang menyatakan bahwa saat kedatangan Rosululloh ke kota Madinah maka para wanita menabuh duff (semacam gendang tanpa suara gemerincing) dan menyenandungkan :
من ثنيات الوداع O طلع البدر علينا
ما دعا لله داع O وجب الشكر علينا

Nukilan dari Imam Al Ghozali ini salah tiga sisi :

Pertama : kisah ini adalah lemah, sebagaimana keterangan diatas
Kedua : beliau menambah dalam riwayat tersebut lafadz yang tidak ada asal usulnya yaitu : “ …….. maka para wanita menabuh duff (semacam gendang tanpa suara gemerincing) dan menyenandungkan …..”
Tambahan yang tidak ada asal usulnya ini sering digunakan oleh sebagian kalangan untuk menghalalkan musik, padahal tambahan ini tidak ada asal usulnya.

Berkata Imam Al ‘iroqi dalam Takhrij Ihya’ (2/275) :

“Hadits tentang para wanita yang bersenandung saat kedatangan Rosululloh ini diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Dala’ilun Nubuwah secara mu’dhol, namun tidak terdapat adanya menabuh duff dan nyanyian.”

Berkata Syaikh Al Albani :

“Al Ghozali menyebutkan kisah ini dan menambah dengan menyebut adanya “ menabuh duff dan nyanyian.” Padahal tambahan ini tidak ada asal usulnya sebagaimana yang disebutkan oleh Al Hafidl Al ‘iroqi. Banyak orang yang tertitpu dengan tambahan ini, sehingga ada sebagian kalangan yang menyebutkan kisah ini sebagai dalil bolehnya nyanyian, padahal seandainyapun hadits ini shohih, maka ini bukan dalil atas kebenaran pendapat mereka.”

Ketiga : beliau membolehkan nyanyian dan musik, padahal keduanya sangat jelas keharamannya sebagaimana yang ditegaskan oleh Rosululloh dalam banyak haditsnya. Diantaranya adalah :

Pertama :

عن أبي مالك الأشعري قال : ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف

Dari Abu Malik al Asy’ari berkata : “Rosululloh bersabda : “Sungguh akan ada sekelompok dari umatku yang menganggap halal zina, sutra, khomer (minuman keras) dan alat musik.”

(HR. Bukhori : 5590)

Al Ma’azif adalah alat musik. Berkata Imam Ibnul Qoyyim : dia adalah semua alat musik, tidak ada perselisihan diantara para ulama’ bahasa mengenai arti ini.”

Kedua :

عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : صوتان ملعونان في الدنيا والآخرة : مزمار عند نعمة ورنة عند مصيبة

Dari Anas bin Malik berkata : “Rosululloh bersabda : “Dua suara yang dilaknat didunia dan akhirat, yaitu bunyi seruling ketika mendapatkan nikmat dan rintihan ketika mendapatkan mushibah.”

(Shohih riwayat Al Bazzar dalam musnad beliau 1/377, Abu Bakr Asy Syafi’i 2.22, Dliya’ al Maqdsi 6/188)

Ketiga :

عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن الله حرم علي الخمر والميسر والكوبة وكل مسكر حرام

Dari Abdulloh bin Abbas berkata : “Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya Alloh mengharamkan kepadaku khomer, judi, gendang dan setiap yang memabukkan adalah harom.”

(Shohih riwayat Abu Dawud : 3696, Baihaqi 10/221, Ahmad 1/274, Abu Ya’la : 2729, Ibnu Hibban : 5341)

Keempat :

عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إن الله عز وجل حرم الخمر والميسر والكوبة والغبيراء وكل مسكر حرام

Dari Abdulloh bin Amr bin Ash bahwasannya Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya Alloh mengharamkan khomer, judi, gendang, ghubairo’ (minuman memabukkan yang terbuat dari jagung) dan setiap yang memabukkan adalah harom.”

(Hadits hasan riwayat Abu Dawud : 3685, Thohawi 2/325, Baihaqi 10/221, Ahmad 2/157)

Kelima :

عن عمران بن حصين قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” يكون في أمتي قذف ومسخ وخسف ”
قيل : يا رسول الله ومتى ذاك ؟ قال : إذا ظهرت المعازف وكثرت القيان وشربت الخمور

Dari Imron bin Hushoin berkata : “Rosululloh bersabda : “Akan terjadi pelemparan pada ummatku, dirubahnya manusia menjadi bentuk lain dan gempa. Beliau ditanya : “Kapankah itu terjadi wahai Rosululloh ?.” beliau menjawab : “Jika alat musik telah semarak, banyaknya penyanyi dan khomer di tenggak.”

(Hadits hasan riwayat Tirmidzi : 2213, Ibnu Abid Dunya 1/2 , Abu Amr Ad Dani 1/39, Ibnu Najjar 18/251)

Hadits-hadits ini sangat tegas menunjukkan haramnya musik, maka seandainyapun riwayat tadi shohih, maka sama sekali tidak bisa dibawa kepada apa yang dilakukan oleh orang-orang yang membolehkan musik saat ini yang mereka namakan dengan musik atau nasyid islami (?).

(Lihat masalah ini dengan terperinci para Tahrim Alat Thorb oleh Syaikh Al Albani juga tulisan akhuna Al Ustadz Abu Abdillah pada edisi … tahun …. Rubrik Tazkiyatun Nafs)
Kisah lain yang juga lemah

Dari Anas berkata :

Rosululloh datang ke kota Madinah, maka tatkala beliau sudah masuk kota, maka seluruh penduduk Madinah yang laki-laki maupun wanita berkata : Kemari wahai Rosululloh.” maka beliau bersabda : “Biarkan onta ini, karena dia sedang diperintah.” Ternyata unta tersebut berhenti di pintu rumahnya Abu Ayyub. Maka keluarlah wanita-wanita Bani Najjar sambil menabuh duff sambil bersenandung :
يا حبذا محمد من جار O نحن جوار من بني النجار

Kami adalah wanita-wanita Bani Najjar
Alangkah bagusnya bertetangga dengan Muhammad

Maka Rosululloh keluar menemui mereka dan bersabda : “Apakah kalian mencintaiku ?. mereka menjawab : “Benar, wahai Rosululloh.” Maka Rosululloh bersabda : “Demi Alloh, sayapun mencintai kalian. Demi Alloh sayapun mencintai kalian.”

Kisah ini diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah 2/508. beliau berkata : telah menghabarkan kepada saya Abul Hasan Ali bin Umar berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah Abdulloh bin Mukhollad Ad Dauri berkata : ” telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaiman berkata : ” telah menceritakan kepada kami Ibrohim bin Shirmah berkata : “telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Ishaq bin Abdillah bin Abu Tholhah dari Anas berkata : ….”

Hadits lebih lemah dari yang sebelumnya, karena Ibrohim bin Shirmah adalah seorang pendusta.

Berkata Imam Adz Dzahabi : Ibrohim bin Shirmah al Anshori dari Yahya bin Sa’id dilemahkan oleh Daruquthni dan lainnya. Berkata Ibnu Adi : secara umum haditsnya munkar baik matan maupun sanadnya. Berkata Ibnu Ma’in : Dia pendusta yang keji.”.
.
E. Kisah yang sebenarnya

Setelah mengetahui kelemahan kisah diatas, maka secara wajar akan muncul sebuah pertanyaaan : Lalu bagaimana sebenarnya kejadian yang sebenarnya saat kedatangan Rosululloh di kota Madinah, apa yang dilakukan oleh penduduk Madinah saat itu ?

Tidak cukup tempat untuk memaparkan kejadian kisah hijroh Rosululloh yang penuh dengan ibroh, silahkan dilihat pada kitab-kitab para ulama’ yang terpercaya. Di antaranya lihatlah shohih Bukhori kitab Manaqib Anshor bab kedatangan Rosululloh dan para sahabatnya ke Madinah. Juga apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bab haditsul hijroh, juga kitab-kitab siroh nabawiyyah yang shohih lainnya.”

Wallohu a’lam

______________________________________

(1) Takhrij ini saya ramu dari silsilah Tahdzir Da’iyah oleh Syaikh Ali Hasyisy dalam Majalah Tauhid Mesir dan Adh Dho’ifah Syaikh Al Albani no : 589